FOTO : Rosadi Jamani (Ist)
Oleh : Rosadi Jamani (Ketua Satupena Indonesia Kalbar)
“Bidang teknis tidak lantas tepat diukur dengan penulisan karya ilmiah,” kata Menteri Nadiem Makarim.
Sepenggal ungkapan Nadiem perihal hebohnya isu skripsi mau dihapuskan. Banyak diperbincangkan terutama kalangan dosen.
“Gimana pula skripsi mau dihapus, wah payah Pak Menteri ni,” celetuk salah satu dosen di WAG.
Isu hangatnya skripsi mau dihapuskan ini setelah keluar Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Ada setuju, pasti ada yang tidak. Ya, namanya sebuah aturan pasti ada pro dan kontra, biasa itu.
Sebenarnya bukan skripsi mau dihapuskan, tapi memberikan alternatif. Boleh gunakan skripsi, boleh juga berupa prototipe, proyek, atau bentuk lainnya. Apa itu prototipe? Adalah bentuk draft kasar dari sebuah produk yang mau dibuat atau diciptakan.
Sementara proyek adalah sebuah pekerjaan yang bersifat unik perlu waktu dan biaya dalam pengerjaannya. Atau, bentuk lainnya, dan ini belum ada penjelasannya seperti apa.
Sepertinya butuh juklak dan juknis atau diserahkan sepenuhnya pada Prodi. Untuk sementara seperti itu penjelasan yang saya dapat, untuk lebih detailnya, belum. Antara paham dan tidak juga, maklum barang baru.
Mengemuka soal skripsinya. Siapa pun yang pernah kuliah S1, pasti ketemu skripsi. Wajib soalnya. Skripsi bisa menjadi “momok” menakutkan bagi mahasiswa.
Tak jarang, banyak DO gara-gara karya tulis ilmiah ini. Menjadi momok karena rata-rata mahasiswa lemah dalam tulis-menulis ilmiah. Disuruh buat makalah saya, banyak copypaste dari google.
Apalagi tugas kelompok, paling hanya satu mahasiswa yang ngerjakan, yang lain tukang oke saja.
Memang membuat skripsi itu tidak mudah. Menulisnya juga tidak sembarangan. Ada sejumlah kaidah yang mesti dipenuhi. Sudah malas menulis bebas saja malas.
Apalagi disuruh menulis menggunakan sistem penulisan ilmiah lagi, bisa mumet. Buat proposal dulu, lalu diujikan di hadapan penguji. Setelah itu barulah penelitian di lapangan.
Penelitian selesai, dituliskan dalam bentuk teks. Tulisan itu dilihatkan ke pembimbing. Kalau pembimbingnya friendly, enak urusannya. Nah, kalau pembimbingnya “killer”.
Di WA tak dibalas, ditelepon tak diangkat, sudah ditemui, sibuk melulu, kan puyeng. Belum lagi pembimbing keduanya, memiliki karakter beda lagi.
Bila mahasiswa tak tahan banting, banyak memilih setop skripsi. Lebih memilih DO dari pada melanjutkan menulis skripsi.
Baru tahap bimbingan. Belum lagi mau ujian, lebih dag dig dug lagi. Skripsi itu akan diuji lembar per lembar. Kalau mahasiswa yang asli ngerjakan sendiri, pasti bisa menjawab setiap pertanyaan penguji.
Yang jadi masalah, kalau skripsi itu penuh dengan plagiat, akan dihajar penguji. Bisa tidak lulus ujian. Bayang-bayang bakal dihajar penguji sudah menggelayut di pikiran dulu.
Panas dingin dibuatnya. Memang tidak semua, tapi umumnya mahasiswa banyak merasa berat menulis skripsi ini.
Dengan adanya aturan baru itu, kampus bisa memberikan alternatif. Kalau memang berat menulis skripsi, buatlah prototipe, proyek, atau bentuk lainnya. Jadi, skripsi menjadi tidak mutlak lagi. Di bagian ini saya setuju.
Bagi mahasiswa yang memang lemah dalam penulisan ilmiah, inilah jawabannya, membuat alternatif lain yang telah ditetapkan kampus. Saya maunya pengganti skripsi, mahasiswa bisa membuat aplikasi, buku, outlet atau kios jualan, bimbingan belajar, film, pembina kelompok tani, membuat kebun, dsb.
Apa saja yang sesuai dengan kompetensinya dan itu memberikan manfaat besar di masyarakat.
Ujiannya cukup ditinjau di lapangan, apakah benar. Kalau benar banyak digunakan oleh masyarakat, layak jadi sarjana. Itu maunya saya ya, kalau kalian beda, silakan saja.
Lagian masih banyak waktu merumuskan alternatif pengganti skripsi ini. Aturan itu pun tidak serta merta langsung diterapkan.
Keputusan akhir ada di kampus itu sendiri. Mulai sekarang, sudah boleh kampus memilikirkan apa alternatif bila mahasiswa tak mau menulis skripsi.
#camanewak