FOTO : Ilustrasi [ AI]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
BERBULAN – bulan melakukan penyidikan. Ada saksi diperiksa di Jakarta. Ada juga diperiksa di tempat. Tersangkanya, ya kambing hitam. Atasannya, saksi forever.
Itu sebabnya, saya tidak yakin kinerja KPK, kecuali OTT-nya. Mari kita lindas, eh salah, kupas kinerja lembaga antirasuah memburu para koruptor sambil ngopi tanpa gula, wak!
Jangan terlalu percaya dengan kinerja KPK. Serius, jangan. Kalau masih percaya, berarti nuan masih menaruh harapan pada sinetron yang tiap episodenya menggantung ending, “Bersambung minggu depan.”
Gubernur yang sudah jelas-jelas berstatus tersangka saja bisa tiba-tiba lepas dengan wajah penuh senyum bak pemain iklan pasta gigi. Apalagi cuma rumah digeledah, laci dibongkar, kasur dibalik, brankas dipreteli. Ujung-ujungnya? “Beliau hanya sebagai saksi.”
Mari kita mulai dengan tokoh utama, Sahbirin Noor, Gubernur Kalimantan Selatan. Tuduhannya? Dugaan menerima fee lima persen dari proyek pengadaan barang dan jasa. Lima persen, pian! Kalau ini perusahaan ritel, Sahbirin bisa pasang spanduk, Diskon Korupsi 5% All Item.
Drama makin seru karena ada rekayasa proyek. Tapi jangan buru-buru tepuk tangan, sebab ada plot twist, KPK menetapkan Sahbirin sebagai tersangka, lalu beliau mengajukan praperadilan. Apa yang terjadi? Menang telak! Seperti tim sepak bola gurem mengalahkan juara dunia.
Status tersangka otomatis hilang, KPK seperti kehilangan panggung. Kasihan betul, lembaga super body itu seakan-akan dijatuhkan hanya dengan satu putusan hakim tunggal. Kalau Aristoteles hidup, mungkin ia akan bilang, “Hukum di Indonesia bukan soal keadilan, tapi soal siapa yang paling piawai memainkan catur praperadilan.”
Lanjut ke panggung Kalbar, daerah gue ni, wak. Ria Norsan, rumah dinasnya digeledah, rumah pribadinya disatroni, bahkan rumah keduanya ikut dipreteli. Hasilnya? Tiga tersangka sudah diumumkan.
Tapi Ria Norsan? Masih duduk manis, senyum merekah, statusnya saksi. Kalau Filsuf Plato lihat ini, mungkin dia akan menulis Republik Jilid Dua: Negara Saksi. Bayangkan, tiga rumah digasak, tapi penghuninya malah keluar jadi “pemenang senyum paling tulus 2025”.
Belum puas, kita terbang ke Jawa Barat. Ridwan Kamil ikut meramaikan panggung investigasi. Pada 10 Maret 2025, rumahnya digeledah. KPK menyita motor Royal Enfield dan mobil Mercedes Benz 280 SL, kendaraan yang kalau dikendarai bisa bikin jalanan Bandung serasa Milan.
Lima orang sudah jadi tersangka, termasuk Dirut Bank BJB, tapi Kang Emil? Belum tersentuh. KPK beralasan masih “pendalaman bukti.” Filosofi hukum baru tercipta, lebih baik mendalami selamanya dari pada salah langkah sekali.
Kita belum masuk ke episode korupsi kuota haji. Kasus ini seperti sinetron Ramadan. Tayang tiap tahun, rame di awal, hilang saat Idul Fitri, lalu muncul lagi tanpa tersangka.
Barang sudah disita, saksi mondar-mandir ke gedung KPK sampai keringetan, tapi ujungnya nihil. Benar kata pepatah baru, haji mabrur mungkin ada, tapi haji bersih dari korupsi masih ghaib.
Tapi jangan salah, KPK tetap punya jurus pamungkas, OTT alias Operasi Tangkap Tangan. Nah, kalau ini, jempol sepuluh. Kilat, heboh, bikin publik percaya lagi sejenak. Namun begitu OTT usai, balik lagi ke pola lama, pemeriksaan berseri, status saksi abadi, dan masyarakat bingung sendiri.
Maka, filsafat hukum di negeri ini telah bergeser. Dari “keadilan adalah untuk rakyat” menjadi “keadilan adalah untuk rating.” KPK tak ubahnya panggung teater, lengkap dengan aktor, plot twist, properti mewah, dan ending menggantung.
Kesimpulannya? Jangan terlalu percaya dengan kinerja KPK. Karena di negeri ini, tersangka bisa jadi pemenang praperadilan, saksi bisa jadi ikon, dan hukum bisa jadi komedi situasi yang tak pernah tamat.
#camanewak