Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalbar]
ADA senja yang tak lagi merah jingga di Polres Solok Selatan. Suara angin yang biasanya menari bersama ilalang kini terhenti.
Bukan karena malam merangkak masuk, tapi karena dentuman pistol telah membelah udara di area parkir. Bukan sekadar insiden, ini adalah tragedi, tragis komedi tanpa tawa, dengan naskah penuh ironi yang bahkan Shakespeare pun enggan menulis ulang.
Pada Jumat dini hari, 22 November 2024, sejarah mencatat satu babak muram di negeri ini. AKP Dadang Iskandar, sang Kabag Ops, mengarahkan senjata kepada sejawatnya, AKP Ryanto Ulil Anshar, sang Kasat Reskrim.
Peluru yang ditembakkan tak hanya melubangi kepala Ryanto, tapi juga menghancurkan sisa-sisa harapan kita terhadap wibawa institusi penjaga hukum.
Ryanto, yang konon adalah sosok idealis, kini tergeletak dingin di RS Bhayangkara Polda Sumbar, meninggalkan lubang yang lebih besar di hati keluarga dan kolega.
Tambang galian C. Siapa sangka bebatuan yang tak bernyawa itu bisa memicu bara api dalam jiwa manusia? Kabarnya, Ryanto mengambil langkah berani.
Ia menangkap para pelaku tambang ilegal. Tapi apa daya, keberanian itu ternyata adalah tiket satu arah menuju tragedi. Dadang, si penegak hukum lain, rupanya tak senang. Mungkin tambang itu lebih berharga dari pada prinsip dan nyawa.
Dendam? Kekuasaan? Atau sekadar ego? Motif masih tersimpan di balik jeruji penyelidikan Polda Sumbar. Namun, fakta ini sudah cukup menyayat hati.
Dua perwira tinggi, sama-sama berseragam, sama-sama bersumpah di bawah Garuda, akhirnya menjadi aktor utama dalam adegan yang bahkan sinetron kejar tayang pun tak bisa menandingi absurditasnya.
Ada yang lucu, meski menyedihkan, tentang negeri ini. Ketika warga berteriak soal hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kita tak pernah membayangkan bahwa “tajam” ini akan menembus kepala rekan kerja sendiri.
Jika polisi adalah simbol perlindungan, siapa yang melindungi mereka dari diri mereka sendiri?
Sementara rakyat kecil bertarung demi sesuap nasi, segelintir orang bertarung demi tambang. Tambang galian C, saudara-saudara, bukan emas, bukan berlian, tapi entah bagaimana, cukup untuk menjadikan kita saksi peristiwa berdarah.
Kita seolah hidup dalam dunia paralel, di mana batu dan pasir punya harga lebih tinggi daripada integritas dan persaudaraan.
Indonesia, negeri dengan undang-undang yang mengalir seperti air sungai. Jernih di permukaan, keruh di kedalaman. Di sini, polisi menembak polisi, seperti adegan dalam film yang tidak layak tayang di bioskop, tapi diputar ulang terus-menerus di kanal berita.
Kita hanya bisa tertawa getir sambil bertanya, “Berapa nyawa lagi yang harus melayang sebelum hukum kembali menemukan jalannya?”
Di tengah semua ini, senja Polres Solok Selatan tetap turun seperti biasa, menutupi noda darah di area parkir. Besok, hari baru akan datang, dengan berita baru yang mungkin lebih tragis, lebih konyol, dan lebih membingungkan.
Dan kita? Kita hanya akan terus membaca, tertawa getir, dan menghela napas panjang.
Ryanto telah tiada. Dadang kini diinterogasi. Tambang galian C? Ia tetap diam di sana, menunggu korban berikutnya.
#camanewak