Nyuruh Orang Kalbar Rajin Baca, Najwa Shihab-pun Didatangkan


Pilih mana, membaca atau menonton? Jawabannya, bisa dipastikan menonton. Kenapa? Karena orang lebih suka menonton ketimbang membaca.

“Ente kan jurnalis. Abang maok nanya, kalau di rumah, suke bace buku atau nonton tevi?” tanya saya ke jurnalis junior.

“Seharian di lapangan. Mun dah datang ke rumah, leteh bang. Mane sempat bace buku. Pasti nonton tevi dolok sebelum tidok,” jawabnya.

“Tapi, kalau nulis tiap arilah ye?”

“Memang kerjaan bang. Kalau tak nulis, berarti tadak ade berita.”

Menulis dan membaca. Itulah leterasi. Semakin hari orang semakin malas membaca. Begitu juga menulis. Dunia literasi kalah jauh dibandingkan menonton. Orang rela berjam-jam di depan televisi. Menonton sinetron, film, kartun, komedi, berita, sepakbola, dan sebagainya. Sementara, orang begitu malas bila membaca. Baru baca dua tiga lembar buku, sudah ngantuk. Jangan heran apabila banyak buku di perpustakaan nganggur. Banyak koran tergeletak begitu saja di meja tanpa ada nyentuh.

Sebagai bukti lagi. Banyak majalah tutup. Begitu juga surat kabar. Literasi dalam bentuk kertas, semakin terpinggirkan.

Sebenarnya, orang bukan malas baca apalagi menulis. Cuma, medianya sudah jauh berubah. Orang memang malas membaca buku. Tapi, sangat rajin membaca status di media sosial. Tiap hari ia baca status di facebook, instagram, mau twitter. Tiap hari juga baca share di whatsapp. Bahkan, tiap hari juga baca informasi di portal media. Medianya yang berubah. Dari kertas ke digital.

Orang memang malas menulis. Kalau yang dimaksud menulis buku, artikel, opini, esai, cerpen, novel, dan sebagainya. Tapi, kalau menulis status, paling rajin. Begitu ada kejadian, banyak menulis status di media sosial. Sebagai contoh, ada kebakaran pasar. Saat kebakaran itu berlangsung, cek facebook maupun IG. Ramai menulis status soal kebakaran itu. Tandanya, mereka menulis informasi. Medianya yang berubah. Dari kertas ke digital.

Di grup dosen, sering kawan pamer buku tulisanya. “Baru saja terbit, kawan. Yang mau pesan, silakan japri.” Usai promosi, lalu ada bertanya, “Apakah ada versi pdf-nya?” Maksudnya, buku yang diterbitkan apakah ada versi e-book (electronic book). Bila ada ebook-nya, tinggal minta link-nya, lalu download. Selesai. Gratis. Begitu mudahnya dapatkan buku. Kalau beli, bisa menghabiskan puluhan ribu plus ongkir. Lama lagi nunggunya.

Bahkan, ada share dari kawan kumpulan buku Islam dalam bentuk ebook. Banyak buku di dalamnya. Tinggal download. Itu kalau dibeli di Gramedia, pasti jutaan duitnya. Begitulah dunia saat ini. Orang memang malas baca buku dalam versi kertas. Tapi, dalam versi digital, tetap masih ramai.

Kalau dimaksudnya malas membaca buku, setuju. Umumnya orang malas membaca. Begitu juga menulis lebih parah lagi. Fenomena ini sudah lama. Untuk membangkitkan orang rajin membaca dan menulis, perlu kampanye besar. Pada 7 September 2019 lalu, Perpustaan Daerah Kalbar bersama Forum Indonesia Menulis mendatangkan presenter terkenal, Najwa Shibab. Pada acara ini juga dilakukan Grand Launching 1000 Buku Karya Pelajar dan Guru-guru se-Kalimantan Barat. Nama kegiatan itu, Wisata Literasi Nasional. Gubernur Kalbar H Sutarmidji hadir dalam acara itu. Tujuan utamanya hanya mengajak warga Kalbar rajin membaca dan menulis. Itu saja.

Mengajak orang rajin membaca dan menulis (versi kertas) seperti melawan arus deras. Walau miliaran uang digelontorkan mengajak warga rajin membaca dan menulis, tak sebanding dengan hasilnya. Tetap saja orang lebih senang menonton televisi, main game online, dan buka youtube. Inilah arus zaman. Dunia ada di gengaman (handphone). Bila dulu dikatakan “Buku adalah jendala dunia”, sepertinya tak relevan lagi. Sekarang, “Google adalah jendala dunia”.

Apa solusinya agar orang kembali rajin membaca dan menulis? Kalau dalam artian versi kertas, tak ada solusi. Sama dengan menantang arus zaman. Kecuali dalam versi digital (bukan kertas). Narasi dalam bentuk digital itulah yang mesti digalakkan. Bagaimana berbagai macam narasi atau literasi bisa dibaca dalam genggaman. Itulah solusinya. Anda boleh tak setuju, tapi faktanya hari ini, orang seperti tak bisa dipisahkan lagi dari handphone. *

 

 

 

 

 

Penulis :  Rosadi Jamani Dosen UNU Kalimantan Barat


Like it? Share with your friends!