Faktor Islam dalam Diplomasi Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya


Oleh Achmad Ubaedillah*

INDONESIA pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terlibat aktif dalam penyelesaian konflik Rohingya di Rakhine State, Republik Persatuan Myanmar (sebelumnya dikenal dengan sebutan Burma).

Dalam catatan historis, Rohingya merupakan etnis minoritas Muslim yang kerap terlibat konflik horizontal dengan etnis Rakhine yang beragama Buddha.

Selain itu, etnis Rohingya juga telah lama memperoleh perlakuan dan kebijakan diskriminatif dari junta militer Myanmar.

Salah satu pemicu terjadinya konflik tersebut ialah pengesahan dan pemberlakuan Undang-undang Kewarganegaran tahun 1982 yang tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar.

Kompleksitas faktor pemicu konflik telah menjadikan persoalan Rohingya berlarut-larut dan berevolusi menjadi krisis kemanusiaan.

Pada masa kontemporer, konflik Rohingya kembali bergejolak pada kisaran tahun 2012-2017. Konflik dalam kurun waktu tersebut banyak dipicu oleh isu sensiftif lokal, perlawanan Arakan Rohingya Salvation Army(ARSA), gerakan politik nasionalis Buddha dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh junta militer Myanmar.

Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo tercatat telah terlibat langsung dalam upaya penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya sejak tahun 2014.

Pemerintah Indonesia yang diwakili Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir memberikan dan meresmikan bantuan empat unit Rumah Sakit di Rakhine State Myanmar sebagai wujud dukungan konkret pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya.

Pada 2015, dalam rangka menyikapi kedatangan arus pengungsi Rohingya di Indonesia, Malaysia dan Thailand, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri dari tiga negara tersebut di Putra Jaya Malaysia guna mencari solusi atas persoalan yang terjadi.

Dari kesepakatan yang dihasilkan, Indonesia menyatakan kesediannya untuk menampung pengungsi Rohingya di wilayah Aceh selama satu tahun dibawah supervisi serta pengawasan The United Nations High Comissioner for Refugees (UNHCR).

Pada tahun berikutnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menyerahkan 10 kontainer bantuan kemanusiaan untuk disalurkan kepada warga Rohingya di Sitwee dan Rakhine, Myamnar.

Presiden Joko Widodo juga memberikan bantuan 34 ton beras yang dikirim dengan menggunakan empat pesawat Hercules TNI AU dari Lapangan Upadara Halim Perdanakusuma menuju permukiman Rohingya di Myanmar.

Dari sisi domestik, masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan penganut Islam juga melakukan berbagai seruan dan aksi dalam mendukung penyelesaian konflik Rohingya.

Pada November 2016, aksi yang diberi nama Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Rohingya (SOLIDER) meminta Presiden Joko Widodo untuk berperan aktif dalam penyelesaian konflik Rohingya.

Demonstrasi bertajuk “Aksi Bela Rohingya” juga dilakukan oleh 5.000 orang di depan Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta.

Massa melakukan pembakaran bendera Myanmar serta menuntut pemerintah untuk mengusir Dubes Myanmar dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar karena dianggap telah melakukan pembantaian terhadap etnis minoritas muslim Rohingya.

Sementara itu, seruan bernada kecaman juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut sepakat meminta Pemerintah Indonesia, Myanmar, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk segera menghentikan konflik yang telah menyebabkan etnis minoritas Muslim Rohingya menderita.

Kedua Ormas Islam tersebut menyampaikan aspirasi dan dukungan kepada pemerintah agar turut aktif membantu sesama muslim.

Dalam kaitan itu Pemerintah Indonesia memfasilitasi Myanmar untuk melaksanakan “interfaith dialogue” sebagai bagian dari upaya saling belajar dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang toleran, kohesif dan damai.

The 1st Indonesia-Myanmar Interfaith Dialogue (IMID) yang mengusung tema “The Role of Leaders in Promoting Tolerance, Mutual Understanding and Harmony in Social Development” dihelat oleh Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan Institute for Peace and Democracy dan beberapa instansi di Kota Yogyakarta pada tahun 2017.

Seiring eskalasi dan reaksi atas konflik yang terus meningkat pada 2017, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menlu Retno Marsudi untuk melakukan upaya diplomasi ke Myanmar guna menemui Konsuler Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Indonesia menawarkan formula 4+1 sebagai solusi atas penyelesaian konflik Rohingya. Formula 4+1 terdiri dari:

Pengembalian stabilitas dan keamanan dan upaya menahan diri secara maksimal serta tidak menggunakan tindak kekerasan.

Berikutnya adalah perlindungan terhadap semua orang tanpa memandang suku dan agama; pembukaan akses terhadap bantuan kemanusiaan; dan pelaksanaan amanat Komisi Penasehat untuk RakhineState dibawah pimpinan Koffi Annan.

Khusus untuk menindaklajuti pertemuan Menlu Retno Marsudi dengan Konsuler Negara Myanmar Aung San Suu Kyi dan mewujudkan upaya pemberian bantuan kemanusiaan yang lebih terkoordinasi, Pemerintah Indonesia memfasilitasi pembentukan International Humanitarian Assistance (IHA) atau Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang melibatkan 11 Ormas Islam dan organsiasi filantropi berbasis Islam.

Ormas dan organisasi dimaksud adalah Lembaga Penanggulangan dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Dompet Dhuafa, dan Pos Keadilan Peduli Umat Human Initiative (PKPU Human Initiative).

Selain itu juga Rumah Zakat, Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) Wahdah, Daarut Tauhid, Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (LAZIS DDII), Lembaga Amil Zakit Nasional Lembaga Manajemen Infaq (LAZNAS LMI) dan Social Trust Fund (STF) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada 2018, disela-sela kunjungan kerjanya ke kawasan Asia Selatan, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo menyempatkan diri untuk mengunjungi pengungsian Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh.

Dalam kunjungan tersebut Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk memberikan bantuan kemanusiaan secara berkelanjutan.

Presiden dalam pernyataannya bahkan menggunakan terminologi “Saudara Muslim” untuk menyebut para pengungsi Rohingya.
Hal tersebut menunjukan bahwa pemerintah ingin menampilkan wajah Indonesia sebagai negara “middle power” dengan berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang peduli terhadap permasalahan di dunia Islam.

Indonesia juga aktif memberikan dukungan diplomasi terhadap konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya melalui OKI. Pada 2015 Indonesia berhasil menggalang dana US$ 50 juta dari negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI. Dana tersebut kemudian digunakan untuk bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya.

Kemudian pada 2017, dalam pertemuan tingkat Menteri OKI, Indonesia meminta negara-negara OKI untuk memperhatikan nasib etnisminoritas Muslim Rohingya dan mendukung penyelesaian konflik menggunakan pendekatan konstrukstif (constructive engagement).

Pada 2018 Indonesia membawa isu Rohingya kedalam Konferensi Tingkat Tinggi OKI ke-45 yang menghasilkan Resolusi Nomor 59/4-POL on the Establishment of An OIC ad Hoc Ministerial Committee on Accountability for Human Rights Violations against the Rohingyas.

Dengan adanya resolusi tersebut, negara-negara Muslim diharapkan dapat solid bekerjasama dalam mencari bukti terkait pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) yang menimpa etnis minoritas Muslim Rohingya.

Berdasarkan paparan di atas, dukungan Indonesia terhadap penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya dipengaruhi oleh faktor Islam.

Bersandar pada pendekatan konstruktivisme yang mengakui pluralitas aktor dalam hubungan internasional, faktor Islam tercermin dari berbagai upaya Ormas Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, SOLIDER dan lain-lain dalam mendesak pemerintah untuk turut membantu penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaaan Rohingya.

Atas dasar itu, pemerintah pada akhirnya melibatkan secara langsung Ormas Islam maupun organisasi filantropi berbasis Islam dalam proses penyaluran bantuan kemanusiaan.

Disamping itu, Indonesia juga semakin aktif membawa isu Rohingya dalam agenda diplomasinya di forum internasional seperti OKI.

Selanjutnya, ditinjau dari konsep identitas, lebih jelasnya sumber pembentukan identitas dari level domestik, dapat diketengahkan bahwa alasan yang melatarbelakangi mayoritas umat Islam di Indonesia vokal menyuarakan penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan Rohingya disebabkan oleh adanya kesamaan identitas, yakni Islam.

Ini dapat dipahami, mengingat salah satu pemicu konflik Rohingya ialah konflik berdimesi agama yang melibatkan etnis minoritas Muslim Rohingya, etnis mayoritas Buddha Rohingya serta otoritas Myanmar yang mayoritas merupakan penganut Buddha.

*Prof. Dr. Achmad Ubaedillah, MA adalah Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Dubes RI untuk Brunei Darussalam.


Like it? Share with your friends!