FOTO : ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
POLISI pamerkan uang 204 miliar ke publik. Itu kalau dibagikan ke guru honorer yang demo di Sambas kemarin, langsung sejahtera.
Sayangnya, uang itu hasil penyitaan dari para penipu kelas kakap yang memanfaatkan rekening nganggur alias dormant. Mari kita lindas, eh salah, kupas sindikat para perampok ber-IQ jenius ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Cerite gini. Ada sebuah kerajaan bernama Bank BUMN, di mana di dalamnya tersimpan peti harta karun yang sudah berabad-abad tak dibuka. Peti itu bernama rekening dormant, alias rekening nganggur.
Ia tidur begitu lama, begitu damai, seolah-olah pemiliknya sudah lupa bahwa ada emas segunung di sana. Lalu datanglah sindikat penipu, bak perompak dengan seragam pejabat, membawa bendera palsu bertuliskan “Satgas Perampasan Aset”.
Dengan penuh wibawa yang dicetak dari printer abal-abal, mereka mendatangi Kepala Cabang Pembantu (KCP) bank di Jawa Barat, duduk manis, dan berkata, “Kami ini utusan negara. Buka pintu peti harta itu sekarang juga.”
Sialnya, si kepala cabang bukannya diberi pilihan minum teh atau kopi, melainkan ancaman maut. Jika tidak menyerahkan user ID dan password aplikasi core banking milik teller dan dirinya, maka ia dan keluarganya bisa “lenyap dari peta”.
Betapa absurdnya, sebuah bank raksasa yang mestinya jadi benteng uang rakyat, bisa dibobol hanya dengan jurus pura-pura pejabat dan sedikit bumbu intimidasi. Dari situlah pintu digital terbuka, dan harta karun senilai Rp 204 miliar pun dicuri, dipindahkan ke rekening-rekening yang tak kalah misterius.
Uang sebanyak itu bukan recehan yang bisa masuk saku celana. Polisi pun akhirnya berhasil menyita dan memamerkannya. Tumpukan pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu ditata seperti instalasi seni absurd, seolah sedang pameran “Art of Corruption” di galeri nasional.
Publik melongo, 204 miliar hanya dari rekening tidur? Serius, ada orang bisa tidur nyenyak dengan kasur berlapis duit sebanyak itu?
Sindikat ini luar biasa nekat. Mereka bukan hacker Silicon Valley, bukan pula mafia dengan satelit canggih. Mereka hanya modal kostum pejabat gadungan, kertas palsu, dan wajah tebal. Mereka mengandalkan psikologi ketakutan, dan ternyata berhasil.
Betapa rentannya sistem perbankan kita, bank yang katanya punya keamanan berlapis ternyata bisa rubuh hanya oleh sekelompok pemulak (tukang bohong kelas wahid) dengan ancaman bak preman pasar.
Di balik semua absurditas ini, ada filsafat uang nganggur yang harus kita renungkan. Uang, seperti makhluk hidup, benci diam. Ia harus bergerak, berputar, bekerja. Kalau ia dibiarkan tidur di rekening dormant, ia akan jadi magnet kejahatan.
Uang tak punya loyalitas, ia tak peduli pada pemilik aslinya, ia lebih patuh pada siapa yang berhasil memindahkannya. Sindikat itu paham betul hukum alam ini, mereka hanya perlu jadi tukang bangunkan, meskipun dengan cara barbar.
Sekarang, coba nuan bayangkan. Bagaimana kalau uang akang/teteh yang sudah bertahun-tahun tak disentuh, tiba-tiba lenyap karena disedot sindikat macam ini? Mungkin nilainya tak sampai ratusan miliar, mungkin hanya beberapa juta.
Tapi bukankah prinsipnya sama, uang yang tidur bisa dicuri tanpa sadar? Polisi boleh bangga memamerkan Rp 204 miliar di meja konferensi pers, tapi pesan sejatinya jauh lebih menakutkan.
Rekening dormant itu seperti orang koma di rumah sakit, tubuhnya masih hangat, jantungnya masih berdetak, tapi tak bisa melawan ketika hartanya diambil. Sindikat ini berperan sebagai pencuri organ, memotong bagian demi bagian. Maka waspadalah.
Jangan biarkan uang ente tidur terlalu lama. Bangunkan ia, gerakkan ia, jagalah ia. Sebab bila pian lalai, selalu ada maling berbaju pejabat yang siap menyedotnya, lalu menjadikannya tumpukan absurd yang dipamerkan polisi di hadapan dunia.
“Bang, uang sebanyak itu dikemanakan setelah dipamerkan?”
“Masuk ke kas negara lah, wak. Masa’ masuk ke kantong polisi.”
#camanewak