FOTO : Ilustrasi [ AI ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SAYA setuju MBG, sepanjang memenuhi gizi. Semua setuju soal itu. Nah, bagaimana bila MBG itu justru banyak keracunan.
Terbaru, di provinsi saya sendiri. Saya membayangkan begitu traumannya orang tua siswa melihat anaknya menggelepar. Mari kita ungkap lagi ada apa sebenarnya proyek triliunan ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Senin (23/9/2025) di Ketapang, suasana kelas berubah jadi ruang duka. Dua puluh siswa SD Negeri 12 Benua Kayong diduga keracunan setelah menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG).
Enam belas anak terpaksa dirawat intensif di RSUD dr. Agoesdjam, lorong IGD dipenuhi tangisan ibu-ibu yang trauma. “Saya panik, saya takut terjadi apa-apa pada anak saya,” kata Asri Yani, salah satu orang tua korban. Trauma itu nyata: setiap sendok nasi gratis kini terasa penuh tanda tanya.
Menu penyebab keracunan konon adalah nugget hiu dan sayur yang dipanaskan ulang. Kepala sekolah hanya bisa menduga-duga. Tapi bagi para orang tua, dugaan itu terlalu mahal anak-anak mereka harus menanggung sakit di tubuh mungilnya.
Bagaimana mungkin program seharga Rp 71 triliun tega menyajikan makanan yang bahkan tidak lolos logika dasar dapur rumah tangga?
Data nasional semakin bikin perut ikut mual. Hingga 23 September, total korban keracunan MBG sudah mencapai 5.320 pelajar. Bayangkan, ribuan anak sekolah yang seharusnya belajar berhitung, justru sibuk menghitung berapa kali muntah sebelum masuk rumah sakit.
Ironisnya, dari 1.379 dapur MBG, hanya 312 yang menjalankan SOP keamanan pangan. Sisanya? Seperti sayur basi, dibiarkan membusuk tanpa pengawasan.
Presiden Prabowo yang sedang berada di New York pun merasa terusik. Kabarnya, sepulang ke tanah air beliau akan memanggil semua kepala SPPG.
Fokusnya jelas, telur. Satu diceplok, satu direbus. Tidak boleh didadar, tidak boleh diorek-orek. Telur utuh jadi simbol negara hadir. Namun, di Ketapang, ibu-ibu hanya ingin satu hal, bukan telur ceplok, tapi kepastian anak-anak mereka tidak lagi jadi korban.
Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menolak ide untuk mengubah skema MBG menjadi bantuan tunai. Menurutnya, program ini dirancang lama oleh Presiden Prabowo sebagai bentuk intervensi langsung terhadap gizi anak. “Kalau uang tunai, itu sudah ada BLT dari Kementerian Sosial. Kita tidak ingin melakukan itu,” katanya.
Dadan bahkan mencontohkan kasus di Sumatera Utara, ketika seorang ibu menggunakan dana KIP anaknya bukan untuk sekolah, melainkan untuk kebutuhan lain. Karena itu, menurut Dadan, MBG tidak boleh diganti uang. “Program ini adalah intervensi pemenuhan gizi,” tegasnya.
Masalahnya, intervensi yang dimaksud justru berubah jadi tragedi. Anggaran Rp71 triliun baru terserap 18,6%, namun korban sudah ribuan. Apa arti intervensi kalau anak-anak harus masuk IGD dulu untuk membuktikan negara hadir? Ibu-ibu di Ketapang jelas tidak peduli soal teori intervensi gizi, yang mereka tahu hanya satu: dapur MBG harus dievaluasi menyeluruh, diawasi ketat, dijalankan profesional, bukan sekadar proyek politik bergizi.
Di Senayan, Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris, malah sibuk membela diri dari tudingan dapur MBG dikuasai anggota dewan. “Yang pasti bukan saya!” katanya. Namun bagi publik, jawaban seperti itu tidak menenangkan. Trauma sudah terlalu dalam.
Maka, tuntutan rakyat kini sederhana namun mendesak, hentikan eksperimen basi ini. Jangan biarkan slogan Makan Bergizi Gratis berubah makna jadi Makan Basi Gratis. Karena bangsa besar bukan diukur dari jumlah jet tempur di angkasa, tapi dari satu piring makan siang anak sekolah yang aman ditelan tanpa drama IGD.
#camanewak