FOTO : Benz Jono Hartono [ ist ]
*Pembukaan*
REFORMASI 1998 dalam sejarah Indonesia lazim dipahami sebagai gerakan rakyat untuk menumbangkan rezim otoriter Orde Baru yang korup dan represif.
Namun, di balik narasi populis tersebut, terdapat manuver geopolitik yang jauh lebih dalam dan sistematis.
Kejatuhan Soeharto bukan semata-mata akibat krisis ekonomi dan tekanan internal, melainkan juga hasil dari pertemuan kepentingan dua kutub ideologi global yang selama ini tampak bertentangan.Kapitalisme liberal global dan Komunisme neo-marxis.
Keduanya, dalam konteks Indonesia, memiliki satu tujuan strategis bersama, menjatuhkan Soeharto yang pada dekade terakhir pemerintahannya yang pro Islam dan ekonomi berbasis syariah.
*Kapitalisme dan Komunisme Pasca-Perang Dingin*
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an, dunia tidak menjadi monopolar sebagaimana yang dibayangkan banyak pihak. Sebaliknya, justru muncul formasi ideologis baru. Kapitalisme neoliberal yang dipimpin Amerika Serikat memasuki fase imperialis digital dan finansial yang lebih agresif.
Sementara itu, komunisme tidak mati, tetapi berevolusi menjadi kekuatan struktural yang menyusup dalam berbagai institusi internasional, LSM, media, dan bahkan gerakan pro-demokrasi.
Kedua kutub ini kemudian bersinergi secara pragmatis dalam menghadapi satu musuh bersama yaitu kebangkitan Islam dan ekonomi Syariah, di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
*Soeharto dan Pergeseran ke Arah Islam*
Pada awal 1990-an, Soeharto mulai memperlihatkan keterbukaan terhadap kekuatan Islam. Ia mendukung pembentukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang dipimpin BJ Habibie, dan secara bertahap membuka ruang bagi ekonomi berbasis syariah, termasuk cikal bakal bank syariah.
Langkah ini tidak sekadar simbolik, ia adalah sinyal geostrategis bahwa Indonesia bisa menjauh dari orbit Washington dan Beijing, menuju orbit ketiga, Islam sebagai kekuatan ideologis dan ekonomi global.
Kebijakan ini membuat gelisah dua kubu global. Bagi kapitalis Barat, Indonesia adalah mitra strategis dalam kerangka IMF dan Bank Dunia, dan reformasi ekonomi yang digagas Soeharto terlalu tertutup dari pasar bebas.
Sementara bagi kelompok kiri internasional, langkah Islamisasi ini dianggap kontra-revolusioner, karena Islam dipandang sebagai penghalang utama agenda revolusi sosial ala Marxisme kultural.
*Agenda Kapitalis Tangan IMF dan George Soros*
Krisis moneter 1997 membuka celah emas. IMF, yang dikendalikan oleh kepentingan negara-negara kapitalis, menekan Indonesia untuk melakukan deregulasi ekonomi yang keras. Soeharto, dengan sikap keras kepala, menolak beberapa syarat reformasi ekonomi yang diajukan IMF.
Sementara itu, spekulan global seperti George Soros memainkan perannya melalui serangan mata uang. Nilai rupiah anjlok, inflasi meroket, dan kondisi sosial-politik meledak. Kapitalis global memanfaatkan celah ini untuk mendorong liberalisasi total ekonomi Indonesia—sesuatu yang sulit dilakukan selama Soeharto berkuasa.
Agenda Komunis : Infiltrasi LSM, Mahasiswa, dan Narasi Demokrasi.
Di sisi lain, kelompok kiri internasional (baik dalam bentuk LSM asing, aktivis HAM, dan media global) mendanai dan mendukung gerakan mahasiswa serta LSM lokal yang menggugat Orde Baru.
Banyak dari LSM ini mendapat dana dari yayasan asing yang terafiliasi dengan jaringan progresif kiri global. Mereka menyusupkan narasi demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme radikal, dan penolakan terhadap Islam politik dalam gerakan reformasi.
Tujuannya jelas: bukan hanya menjatuhkan Soeharto, tetapi juga mencegah konsolidasi Islam sebagai kekuatan politik dominan pasca-Orde Baru.
*Kapitalis dan Komunis di Titik Temu*
Meski berbeda ideologi, kaum kapitalis dan komunis memiliki kesamaan objektif dalam konteks Indonesia: menjinakkan potensi kekuatan Islam. Kapitalis ingin memastikan Indonesia tetap dalam sistem ekonomi global yang dikendalikan lembaga Barat.
Komunis ingin memastikan bahwa gerakan Islam tidak menjadi arus utama yang akan mengancam agenda sosial mereka. Kejatuhan Soeharto menjadi titik temu dua kekuatan ini.
*Pasca-Soeharto Kemenangan Mereka, Kekalahan Islam?*
Setelah Soeharto jatuh, Indonesia memasuki era demokrasi liberal yang dikendalikan oleh oligarki ekonomi dan elite politik yang sebagian besar berakar pada rezim lama atau terafiliasi dengan kekuatan asing.Islam sempat bangkit, tetapi selalu dibatasi dalam ruang elektoral dan disusupi narasi moderatisme yang telah didefinisikan oleh pihak luar.
Bank-bank syariah berkembang, tetapi tetap di bawah sistem kapitalisme finansial global.Partai-partai Islam hadir, namun selalu dikerdilkan oleh stigma radikalisme dan narasi pluralisme yang dikontrol media. Islam dijinakkan, bukan dikalahkan, tetapi juga tidak diberi ruang sebagai kekuatan perubahan.
*Penutup**(agenda masih berjalan)*
Reformasi 1998 bukan hanya tentang kebebasan dan demokrasi, tetapi juga merupakan hasil dari persekongkolan geopolitik global.
Kapitalis dan komunis, dua kutub ideologi yang konon bertentangan, mampu bersatu dalam satu hal, menjatuhkan Soeharto dan menggagalkan kemungkinan Indonesia menjadi kekuatan Islam yang mandiri secara ekonomi dan ideologis.
Agenda mereka belum selesai. Kini pertanyaanya, mampukah umat Islam Indonesia membaca permainan ini dan menyusun strategi balasan?
Oleh : Benz Jono Hartono [ Praktisi media massa di Jakarta ]