Sebuah Pelajaran dari Suriah


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

redaksi – radarkalbar.com

SALAH SATU chanel favorit saya di youtube, Joe Hattab. Banyak pelajaran berharga di dalamnya. 12 hari lalu canel ini upload video judulnya, “Dari Suriah yang Baru-Damaskus Ibukota Paling Tua di Dunia.”

Sambil menikmati bubur ayam di Jalan Wahidin Pontianak, saya sarikan video itu untuk dijadikan pelajaran.

Ada keheningan di tengah kemegahan. Bukan hening yang damai, tapi kosong yang menakutkan. Joe Hattab, penjelajah dunia maya, menembus istana Bashar al-Assad yang kini sunyi. Sebuah simbol kekuasaan yang runtuh.

Istana itu megah. Mewah. Seperti dongeng dari seribu satu malam. Tapi tak ada kehidupan. Hanya dinding-dinding dingin, seperti hati pemiliknya.

Di showroom mobil presiden, ada 1.320 unit kendaraan mewah berjajar rapi. Merk mahal, antik, koleksi langka, semua ada. Ironi pahit, di luar sana rakyat bertahan hidup dengan sepotong roti basi.

Joe diajak ke rumah pribadi presiden. Rumah yang lebih menyerupai benteng. Ada pendeteksi bom, pengacak sinyal, dan teknologi keamanan paling mutakhir. Tak sembarang rakyat bisa mendekat. Bahkan mungkin udara pun disaring agar tidak terkontaminasi aroma kemiskinan di luar sana.

Di atas bukit, kompleks rumah keluarga presiden berdiri angkuh. Pernah menjadi simbol tak tersentuh. Tapi rakyat yang marah telah mengacak-acaknya. Foto Bashar al-Assad yang dulu diagungkan kini tergeletak di lantai, diinjak siapa saja. Sebuah tas bermerek mahal ditemukan, bukti kecil kemewahan yang menyulut kemarahan besar.

Joe menyusuri terowongan bawah tanah di bawah rumah megah itu. Ternyata, bahkan bawah tanah pun tak kalah mewah. Apakah ini untuk melarikan diri? Atau sekadar ruang rahasia untuk bersembunyi dari kenyataan?

Di tepi pantai, vila presiden berdiri sunyi. Hanya deburan ombak yang berbicara. Megah, tapi kosong. Seperti hati para tiran yang memuja kekuasaan lebih dari rakyatnya sendiri.

Setelah puas mengeksplorasi properti sang presiden, Joe diajak ke peninggalan lain. Masjid tua era Dinasti Umayyah. Pasar tua Damaskus. Tempat-tempat yang pernah menjadi pusat peradaban dunia. Kini menjadi saksi bisu kehancuran akibat tirani.

Di bandara internasional Damaskus, Joe menemukan kehampaan lain. Bandara itu belum dibuka. Masih sepi. Semua menunggu, seperti rakyat yang menanti hari baru tanpa tiran.

Puncaknya, sebuah buku tebal, wajib dibaca oleh rakyat Suriah. Isinya? Pujian semata kepada ayah Bashar dan keluarganya, serta diri sang presiden. Sebuah ironi. Sementara rakyat menulis sejarah baru dengan darah dan air mata, para penguasa justru memahat pujian untuk diri sendiri.

Namun, di pusat kota, Joe melihat harapan. Rakyat merayakan kemenangan atas tirani. Mereka berseru, “Kita bangun kembali Suriah.” Sebuah optimisme yang lahir dari kehancuran.

Pelajaran dari Suriah. Ketika rakyat marah, istana megah tak berarti. Mobil mewah hanyalah besi tak bernyawa. Teknologi canggih tak mampu menahan badai amarah rakyat.

Para pemimpin yang tuli terhadap suara rakyat, ingatlah ini, kekuatan sebesar apa pun takkan bertahan ketika rakyat sudah lelah. Jangan abaikan mereka. Jangan remehkan suara kecil di luar istana. Karena suara itu, pada akhirnya, akan menggema lebih keras dari tembok yang kalian bangun.

Sejarah telah berbicara, dan Suriah adalah saksi. Semoga yang lainnya mendengar, sebelum terlambat.

#camanewak


Like it? Share with your friends!