Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
TIMNAS dua kali kalah. Sang pelipur lara berduka. Negeri ini pun terasa hampa. Terpaksa ngopi lagi tanpa gula. Yok kita bahas apa sih yang didemo oleh adik-adik mahasiswa.
Langit Jakarta tak beranjak dari warna kelabunya. Seolah ikut berkabung. Seolah tahu bahwa hari ini, negeri ini sedang diratapi.
Di depan Istana Merdeka, gelombang manusia menghitamkan aspal. Ribuan mahasiswa berdiri. Mata mereka tajam. Nafas mereka berapi. Mulut mereka menggema dengan pekikan yang lebih nyaring dari suara klakson bus kota. Spanduk dan poster berkibar di udara seperti bendera perang.
“INDONESIA GELAP!” teriak mereka.
Gedung-gedung tinggi di sekitar seakan menunduk, mendengar jeritan yang memantul di antara dinding beton. Burung-burung pun memilih terbang lebih jauh, takut terjebak dalam amarah akademik yang menggelegak.
Dari barisan depan, seorang mahasiswa menaiki panggung dadakan. Dia mengangkat mikrofon seperti seorang orator revolusi. Matanya menatap ribuan pasang mata yang penuh harap.
“KITA HIDUP DI NEGERI YANG GELAP!” suaranya menghantam udara. “BUKAN KARENA MALAM, TAPI KARENA KEBIJAKAN YANG MEMATIKAN CAHAYA HARAPAN!”
Sorak sorai meledak. Seseorang di tengah kerumunan mulai menangis. Entah karena terlalu emosional atau karena gas air mata sisa demo minggu lalu masih terasa di udara.
Lima tuntutan dideklarasikan. Lima janji yang harus ditegakkan. Lima titah yang jika diabaikan, mungkin besok Istana akan melihat mahasiswa kembali datang, kali ini bukan dengan spanduk, tapi dengan lilin untuk memperingati matinya akal sehat.
Mereka menuntut pencabutan Inpres yang katanya untuk efisiensi, tapi entah efisiensi untuk siapa. Rakyat makin susah, negara makin tajir. Seperti seorang bangsawan yang menyuruh rakyatnya berpuasa sementara dia sendiri berpesta dengan anggur dan daging panggang.
Mereka menolak pasal aneh di RUU Minerba. Sebuah pasal yang menyuruh perguruan tinggi mengelola tambang. Seakan kampus bukan lagi tempat mencari ilmu, tapi tambang batu bara dengan mahasiswa sebagai buruhnya.
Bagaimana mungkin seorang dosen filsafat harus paham cara mengebor tanah? Bagaimana mungkin seorang mahasiswa hukum harus mengurus logistik emas dan nikel?
Apakah skripsi mereka nanti berjudul “Analisis Yuridis terhadap Gaji Tukang Tambang yang Tak Kunjung Cair?”
Mereka menuntut tunjangan dosen dibayar. Sebab mustahil mencetak generasi emas jika pengajarnya harus menggadaikan motornya tiap akhir bulan. Tidak ada peradaban besar yang lahir dari guru yang lapar.
Mereka meminta evaluasi program makan gratis. Program yang dijanjikan penuh gizi, tapi realitanya lebih mirip menu diet paksa. Seringkali nasinya lebih keras dari tekad mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung wisuda. Lauknya lebih sedikit dari libur panjang dalam kalender akademik.
Mereka meminta pemerintah untuk berhenti membuat kebijakan asal-asalan. Karena negeri ini bukan warung kopi tempat semua keputusan bisa dibuat dengan “ya udahlah, coba aja dulu.” Karena nasib jutaan rakyat bukan eksperimen yang bisa diuji coba tanpa riset ilmiah.
Di antara teriakan dan gemuruh suara, di antara panas aspal dan peluh yang bercucuran, di antara nyala semangat dan nyala api dari kertas-kertas yang dibakar, satu pertanyaan menggantung di udara:
Apakah pemerintah mendengar?
Atau mereka akan tetap diam, tetap duduk di balik meja-meja besar, tetap merancang kebijakan baru yang sama absurdnya, sementara di luar sana, mahasiswa terus berteriak, sampai suara mereka serak, sampai malam menelan siang, sampai sejarah mencatat bahwa pernah ada hari di mana generasi muda mencoba menyalakan cahaya di negeri yang gelap.
#camanewak