Banteng Tua dan Anak yang Ditanduk


Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]

DALAM panggung politik Indonesia, hari ini kita saksikan sebuah drama kolosal. Tidak ada layar terkembang, tidak ada gendang ditabuh, tetapi suara gemuruhnya lebih keras dari badai.

Jokowi, sang presiden dua periode, sang anak emas, dilempar ke luar kandang oleh induk banteng yang dulu membesarkannya.

Komarudin Watubun, berdiri di tengah panggung, dengan setelan hitam legam. Suaranya seperti dentuman genderang perang. Tegas, getir, penuh kepastian. Ia membawa perintah dari seorang ratu yang tak pernah salah.

Megawati Soekarnoputri, sang banteng tua, yang kini memilih menanduk anak sendiri demi menjaga keagungan kandangnya.

“Saudara Joko Widodo dipecat. Saudara Gibran Rakabuming juga. Saudara Bobby Nasution, tidak lupa,” katanya, seakan ketiga nama itu hanya serpihan debu yang bisa ditiup angin kapan saja. Komarudin, adakah hatimu juga gemetar saat membacakan keputusan ini?

Tapi politik, wak, adalah panggung tanpa belas kasih. Tidak ada air mata untuk mereka yang dulu berjasa. Tidak ada ruang untuk sentimentalitas. Dalam dunia ini, yang ada hanyalah kekuasaan, seperti api yang tak pernah kenyang membakar kayu.

Lihatlah, Jokowi, yang dulu dielu-elukan sebagai “putra terbaik partai,” kini menjadi musuh dalam selimut. Ini setidaknya menurut surat bernomor 1649.

Gibran, sang Wapres termuda, yang belum sempat menikmati dinginnya kursi kekuasaan, harus menerima bahwa darah ideologisnya dianggap kotor. Bobby? Ah, nasibnya bahkan seperti epilog cerita yang hampir terlupakan.

Sementara itu, di markas besar PDIP, merah dan hitam bercampur jadi satu. Olly Dondokambey, Said Abdullah, Bambang Pacul, semua berdiri dengan aura seperti algojo yang baru saja menyelesaikan tugas suci. Kemeja mereka merah, tapi bukan karena darah, setidaknya bukan darah fisik.

Netizen berbisik-bisik.
“Apakah ini pertanda zaman sedang berubah?”
“Apakah Megawati sedang mempersiapkan pewaris baru, seorang banteng muda yang belum sempat kita kenal?”
“Mungkin ini hanya babak awal dari perang besar.”

Konspirasi? Ia tumbuh subur di tanah bernama politik.

Jokowi? Mungkin ia tertawa kecil di balik layar. Ia tahu, dunia ini terlalu besar untuk dihancurkan oleh satu keputusan. Tetapi siapa yang tahu isi hatinya? Mungkin ia juga terluka, seperti anak yang ditolak ibunya sendiri.

Ini adalah kisah tentang banteng tua yang menanduk anak-anaknya. Sebuah drama yang akan dikenang, ditertawakan, dan dijadikan bahan obrolan dari tingkat elite sampai pengopi di warkop. Tetapi satu hal yang pasti, politik selalu punya jalan untuk menciptakan drama baru. Kita, para penonton setia, hanya bisa menunggu babak berikutnya dengan mata terbelalak dan hati penuh tanda tanya.

Tepuk tanganlah, wak! Drama ini baru saja dimulai.

#camanewak


Like it? Share with your friends!