FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
BEBERAPA hari ini MK mendapat pujian hebat dari publik. Polisi kerja di ranah sipil, diminta kembali ke markas.
Jelas Mabes beguyuk. Nah, sekarang sepertinya polisi akan tersenyum. Sebab, salah satu hakim MK dilaporkan ke polisi. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Kemarin republik ini baru saja diguncang keputusan absurd level akhirat, polisi-polisi aktif yang selama ini nyaman bekerja di ranah sipil, mendadak disuruh kembali ke markas.
Atmosfer Mabes Polri mendadak seperti pesta kembang api yang diledakkan di ruang AC rusak, panas, meletup, dan penuh suara “Hah?!”.
Belum sempat bangsa ini minum Koptagul penenang jiwa, muncul babak baru sinetron konstitusi. Seorang hakim MK, Arsul Sani, tiba-tiba diseret ke panggung tuduhan ijazah palsu. Duh, ijazah lagi, suek bangat. Skor drama politik, 1–1. Sungguh adil seperti VAR yang sedang ngantuk.
Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi (AMPK) melaporkan Arsul Sani ke Bareskrim. Katanya mereka punya “bukti-bukti” soal dugaan ijazah doktor palsu. Entah bukti apa. Bisa jadi kertas, bisa jadi firasat, bisa jadi ramalan zodiak.
Tribunsumsel kemudian melakukan penyelidikan ala Sherlock Holmes KW Super. Media ini menelusuri rekam pendidikan Arsul: SD Muhammadiyah, Madrasah Diniyah, FHUI 1982–1987, beasiswa AOTS-Japan 1997, modul Cambridge 2006, S2 LSPR 2007, fellowship arbitrase Inggris 2009, sampai berbagai keanggotaan arbitrase internasional yang panjangnya bisa bikin mesin printer kering toner.
Lalu muncullah si episentrum gosip, gelar doktor dari Collegium Humanum, Polandia, kampus yang katanya sedang diselidiki karena program akademiknya terlalu gampang. Rumor netizen, untuk jadi doktor di sana mungkin cukup klik tombol “Agree to Terms & Conditions”.
Apakah benar? Entahlah. Yang pasti drama ini belum tamat.
Di tengah hiruk-pikuk itu, MKMK muncul sebagai NPC bijak dalam game nasional. Palguna bilang Arsul punya hak jawab sesuai UU Pers, asal tidak melebar ke hal-hal yang tidak relevan seperti membahas teori bumi datar atau resep cireng bumbu rujak. Situasi sedang panas, tapi ternyata itu bukan satu-satunya drama dunia.
Karena di belahan lain bumi, UFC 322 pecah kacau balau. Pertikaian di kursi penonton mengganggu jalannya acara. Dillon Danis, sosok pengacau sejati dunia MMA, menghidupkan kembali rivalitas lama. Ia bak magnet masalah, dan seperti biasa, keributan pun meledak di tepi oktagon. Kali ini bukan main-main, karena rombongan Khabib Nurmagomedov yang datang mendukung Islam Makhachev ikut terseret.
Hasilnya, keributan epik yang membuat para penonton terpana sekaligus kebingungan, apakah sedang nonton UFC atau nonton gladiator moden yang kehilangan arah moral.
Entah bagaimana, suasana UFC 322 itu terasa mirip drama politik tanah air. Ada yang berkelahi, ada yang bingung, ada yang saling tuduh, dan ada yang cuma duduk sambil selfie. Seakan-akan alam semesta sedang berkata, “Ini semua satu timeline, wak. Jangan kaget.”
Kembali ke republik. Gugatan terhadap Arsul Sani semakin nyaring. Ada yang minta dia mundur, ada yang yakin ijazahnya sah, ada pula yang menganggap ini semua hanya plot twist setelah aturan polisi kembali ke markas diterbitkan.
Teori konspirasi pun tumbuh, lebih cepat dari kecambah kacang hijau dalam tugas prakarya SD. Collegium Humanum belum buka suara. Otoritas Polandia masih diam. Bangsa ini menunggu, deg-degan, was-was, sekaligus bingung apakah harus ikut kursus arbitrase atau nonton UFC saja.
Yang jelas, negeri + ijazah + politik + keributan UFC = kombinasi sempurna untuk sinetron multiverse paling kacau tahun ini. Tetap seruput Koptagul, karena episode berikutnya bisa lebih liar. “Uji Legalitas Gelar Profesor Interdimensional dan Kejar-kejaran Antar Faksi Seperti UFC di Bareskrim.”
#camanewak
