FOTO : ilustrasi seorang koruptor kegirangan usai di vonis ringan [ ist ]
UNTUK menjebloskan seorang koruptor bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu, tenaga, pikiran, dan dana.
Kadang nyawa jadi taruhannya. Capek sudah pasti. Eh, begitu divonis, sangat ringan. Wajar bila korupsi bukan lagi kejahatan yang tak ditakuti lagi. Masuk penjara seperti liburan ke Antartika. Siapkan kopinya, wak!
Ceritanya begini. Seorang mantan anggota DPRD Pamekasan, Zamachsari, terlibat proyek fiktif. Ia menggarong duit negara lewat program hibah palsu di Desa Cenlecen tahun 2022.
Nilai kerugian negara? Jangan tanya. Dalam bahasa rakyat, cukup untuk bangun beberapa sekolah, puskesmas, atau minimal 10 jembatan gantung yang biasanya jadi konten YouTube penuh air mata dan musik sendu.
Tapi apa ganjaran yang dia dapat? Vonis 1 tahun 6 bulan penjara. Itu lebih pendek dari masa promo cicilan paylater Tokopedia.
Sumpah, ini bukan parodi. Ini kejadian nyata di planet hukum bernama Indonesia. Sementara rakyat disuruh hemat, disuruh bayar pajak, disuruh sabar, ada elit yang korupsi berjemaah, lalu ditangkap setelah pakai seragam oranye sebentar, akhirnya vonisnya kayak disetir oleh algoritma komedi slapstick.
Ironisnya, proses penyidikan makan waktu dua tahun, mulai dari 2023, diperiksa 15 saksi, termasuk ketua, sekretaris, dan bendahara pokmas, tapi hasilnya? Vonis selembut tisu basah bayi.
Padahal, dalam logika hukum normal (jika masih ada yang percaya itu), proyek fiktif adalah kejahatan besar. Koruptor bukan hanya maling uang, tapi juga maling harapan. Karena uang negara itu bukan angka abstrak.
Ia adalah ruang kelas yang tak jadi dibangun, jalan desa yang tetap berlumpur, dan anak-anak kecil yang gagal tumbuh sehat karena dana gizi dialihkan ke kantong oknum.
Tapi ketika fakta ini dibawa ke meja hijau, hukum kita malah seperti stand-up comedy dengan skrip basi. Hukuman koruptor lebih ringan dari pasal pencurian ayam di desa.
Zamachsari, tokoh utama dalam lakon tragikomedi ini, jelas bukan sendirian. Karena saat vonis dibacakan, pihak Kejaksaan Negeri Pamekasan langsung mengisyaratkan bahwa kasus serupa akan dibuka lagi.
Di Desa Akkor, Kecamatan Palengaan, juga ditemukan tiga proyek fiktif lain. Artinya, ini bukan insiden tunggal. Ini tradisi! Sebuah ritual kenegaraan bernama “proposal tipu-tipu,” yang melibatkan pemprov, pokmas, dan inspektorat, semua saling lempar berkas dan tanggung jawab seperti bola pingpong patah.
Kepala Seksi Pidsus Kejari Pamekasan, Ali Munip, bilang pihaknya masih menunggu audit inspektorat untuk lanjut kasus yang lain. Tentu saja. Karena dalam negeri ini, audit bisa makan waktu lebih lama dari kisah cinta sinetron 300 episode.
Selama itu, para pelaku bisa menyusun strategi baru, ganti nama pokmas, dan mengajukan proposal fiktif edisi revisi. Jangan heran kalau nanti ada Desa Fiktif, Kecamatan Imajinasi, Kabupaten Halusinasi.
Lalu kita, wak? Rakyat kecil yang bayar pajak sambil ngutang di warung, cuma bisa geleng-geleng kepala sambil nonton berita ini. Kalau hukum cuma berani galak sama pencuri dompet, tapi pelan dan lembut pada perampok APBD, berarti negeri ini bukan sedang krisis moral, tapi sudah syahwat korupsi berjemaah.
Sudahlah, Pak. Tak usah tangkap koruptor lagi kalau akhirnya cuma dikasih 1,5 tahun. Biaya sidangnya lebih mahal dari hukuman yang dijatuhkan. Mending duitnya buat subsidi harga beras atau beli sandal jepit buat anak sekolah. Setidaknya, lebih berguna dari terus menonton hukum dijadikan dagelan oleh mereka yang justru digaji untuk menjaganya.
Sebuah kekesalan saja, wak. Kantor kejaksaan dijagain tentara, ok. Tanda kejaksaan tak takut berhadapan dengan koruptor kelas kakap sekalipun. Sayangnya, upaya jaksa ini seperti tak ada arti di pengadilan. Hakim dengan gampangnya menjatuhkan vonis ringan para pengkhianat negara, pemakan uang rakyat.
Saya tidak tahu, dengan cara apalagi negeri ini berkurang sedikit saja korupsinya. Kalau banyak nanti dibilang “merampot” (ngawur) pula, kata budak Pontianak. Untungnya, di warkop tak ada korupsi.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]