Wartawan Bodrex, Pendekar LSM, dan Pejabat yang Tak Bisa Tidur


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

ADA kawan wartawan share soal adanya wartawan merangkap LSM. Kebetulan saya eks wartawan, sedikit banyak paham dunia ini. Sambil menikmati kopi di teras rumah, yok kita bahas dunia jurnalistik ini.

Di sebuah negeri yang konon katanya demokratis, ada tiga tokoh utama yang selalu muncul dalam kisah-kisah peradaban modern. Tak lain adalah wartawan, aktivis LSM, dan pejabat daerah.

Pejabat adalah sosok yang mendadak religius ketika audit datang, wartawan adalah pengembara kebenaran (atau setidaknya mengaku begitu), dan aktivis LSM? Mereka adalah kaum pengawas, para penjaga moral yang sering kali lebih tahu isi anggaran dari bendahara negara sendiri.

Lalu muncullah istilah “wartawan Bodrex”, sebuah frasa yang mengguncang jagat pers. Menteri Desa, Yandri Susanto, yang dengan santainya mengucapkan kata itu, tiba-tiba jadi bulan-bulanan. Wartawan se-Indonesia pun menghunus pena mereka, siap menuliskan narasi balasan yang lebih tajam dari pedang samurai.

Sang Menteri akhirnya meminta maaf, tapi luka di hati pewarta tetap menganga. Bagaimana bisa mereka disamakan dengan obat warung? Apa karena cepat bekerja? Apa karena bisa mengatasi sakit kepala pejabat dalam sekejap?

Namun, di balik drama ini, ada kenyataan yang lebih menggetarkan. Di banyak pelosok negeri, muncul makhluk-makhluk dengan keahlian ganda, wartawan yang juga aktivis LSM. Mereka bukan sekadar manusia biasa. Mereka memiliki kemampuan berubah bentuk.

Hari ini mereka datang dengan kartu pers, membawa recorder dan kamera. Esoknya mereka muncul lagi, kali ini dengan bendera LSM, membawa surat laporan dan ancaman pelaporan ke kejaksaan, kepolisian, bahkan ke KPK.

Pejabat yang melihat pun berbisik dalam hati, “Ini lawan atau kawan?”

Fenomena ini semakin liar. Di Papua, di Kalimantan, di Sumatera, bahkan sampai ke desa-desa terpencil, pejabat sering kali didatangi sosok misterius yang mengaku wartawan. Mereka bertanya dengan nada serius, mencatat sesuatu, lalu menghilang.

Beberapa hari kemudian, mereka datang lagi, tapi kali ini sebagai aktivis LSM, bicara soal transparansi anggaran, keadilan sosial, dan entah apa lagi. Dana BOS, PIP, BUMDes, plang proyek, banyak lagi objek sasarannya.

Pejabat yang tak siap akan langsung berkeringat dingin.

Para wartawan sejati pun merasa profesi mereka dinodai. “Kami ini pencari kebenaran, bukan negosiator anggaran!” teriak seorang jurnalis senior sambil menghempaskan kopinya yang sudah dingin.

Tapi apa daya, dalam rimba pers yang semakin liar, sulit membedakan siapa yang tulus menulis berita dan siapa yang sekadar menjadikan pena sebagai alat tawar-menawar.

Dewan Pers sudah mengeluarkan peraturan. Wartawan tidak boleh merangkap sebagai aktivis LSM. Tapi, aturan di atas kertas sering kali kalah oleh realitas di lapangan. Kehidupan terlalu kejam untuk sekadar mengandalkan idealisme.

Di satu sisi, ada LSM yang benar-benar berjuang untuk keadilan. Di sisi lain, ada yang menjadikan nama “advokasi” sebagai kedok. Pejabat yang jujur (kalau ada) pun kebingungan. Pejabat yang curang? Mereka sudah hafal aturan main.

Lalu, apa solusinya? Tidak ada.

Ini adalah pertempuran yang tak akan berakhir. Wartawan akan terus mencari berita. LSM akan terus mengawasi.

Pejabat akan terus mencari cara untuk bertahan hidup. Dalam dunia yang semakin abu-abu, hanya satu hal yang pasti, tidak ada yang benar-benar netral.

Di tengah kekacauan ini, satu pertanyaan besar masih menggantung di udara, siapa sebenarnya yang paling butuh Bodrex? Wartawan, pejabat, atau kita semua?

#camanewak


Like it? Share with your friends!