Menjajakan Diri


FOTO : DR Rosadi Jamani (dok)

Oleh : DR Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar

INI KISAH NYATA. Kisah ini selalu saya ceritakan di hadapan mahasiswa. Sebagai motivasi, juga inspirasi. Untuk kuliah, selalu ada jalan bagi punya tekad kuat.

Namanya Soim, kawan satu kelas saat kuliah. Anak tertua dari tiga bersaudara. Ayah dan ibunya petani. Mereka dari keluarga transmigrasi yang ditempatkan di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Asal mereka dari Jawa Tengah.

Orang tuanya ingin Soim terus bersekolah. Soim pun mengikuti nasihat orang yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dari SD sampai SMP ia tamatkan di tanah kelahirannya, Jawa Tengah.

Untuk SMA, orang tuanya menitipkannya di sebuah pesantren tak jauh dari lokasi transmigrasi. Tiga tahun di pesantren, Soim sukses mendapatkan ijazah.

Saat di pondok, Soim bercita-cita ingin kuliah. Cuma, melihat kondisi ekonomi keluarga, rasanya tidak mungkin. Ia sangat memahami kondisi ayah dan ibunya. Selain sudah renta, hasil pertanian juga tak memungkinkan untuknya melanjutkan ke perguruan tinggi. Belum lagi ada dua adiknya yang masih ditanggung ayah dan ibunya.

Saat menerima ijazah, Soim merasa senang. Sama juga dengan kawan-kawan seangkatannya. Senang telah tamat. Di balik senang itu, ia sedih. Mau kuliah, orang tuanya tak memiliki kemampuan. Sementara tekadnya untuk kuliah sangat tinggi. Kadang ia meratapi, kenapa terlahir dari keluarga miskin.

Kenapa tidak lahir dari orang kaya yang tidak masalah soal biaya. Namun, ia terus memutar otak, bagaimana caranya bisa kuliah.

*Menjajakan Diri**

Tiba-tiba dalam setiap solatnya, ia mendapatkan sebuah ide. Menjajakan diri. Ya, menjajakan diri ke rumah-rumah orang kaya. Tekadnya sudah bulat, menjajakan diri. Caranya, setiap rumah yang dikira orang kaya, pintu pagarnya diketuk. Begitu ada pemiliknya keluar, pasti bertanya.

“Maaf, ada keperluan apa ya?” tanya pemilik rumah.

“Saya mohon maaf sebelumnya. Saya mau menawarkan untuk bekerja di tempat bapak, kerja apa saja, saya siap. Tak perlu digaji, cuma saya minta bisa kuliah saja,” cerita Soim.

Dari pintu ke pintu ia menjajakan dirinya. Semua menolak. Ada menolak secara halus. Ada juga kasar. Namun, Soim tidak putus asa.

Hari ini gagal, ia sambung esok. Esok gagal, ia lanjutkan lusa. Ia terus mengincar rumah orang kaya.

Kurang lebih seminggu menjajakan diri, sampailah pada sebuah rumah dinas milik PLN. Sama seperti sebelumnya, ia ketuk pintunya, dan keluarlah orang dari dalam.

Ia tawarkan dirinya seperti di atas. Ternyata, orang itu tertarik. Mungkin melihat kesungguhan dan kepolosan dari Soim. Mungkin juga unik, biasanya orang tak dikenal datang, berpakaian rapi, sales. Ini malah nawarkan diri minta kerja. Ia dipersilakan masuk dan diajak ngobrol di ruang tamu.

“Coba kamu jelaskan, seperti apa maksudnya tadi, mau bekerja ya?” tanya orang itu.

“Benar, Pak. Saya siap bekerja dengan Bapak, apa saja. Bapak mau suruh saya tukang bersih-bersih rumah plus halaman, saya siap. Siap tanpa digaji. Asalkan saya diberi kesempatan bisa kuliah. Itu saja, Pak,” ungkap Soim.

Orang itu tertegun mendengar keinginan jujur Soim. Ia terus menggali siapa jadi diri Soim. Anak petani miskin yang ingin kuliah tapi tak memiliki kemampuan ekonomi.

Apalagi Soim punya pengetahuan agama seperti ngaji, orang itu tertarik. Lagian, dua anaknya butuh guru ngaji di rumah.

“Begini dik Soim, bapak akan bicarakan dulu dengan istri. Kalau istri oke, esok ke sini lagi, ya!” pinta orang itu.

Mendengar permintaan itu, Soim merasa sangat senang, walau belum ada keputusan pasti. Ia pun izin pamit. Menunggu esok, ia tak mungkin pulang ke rumahnya karena jauh.

Terpaksa ia mencari masjid dekat dari rumah itu, numpang nginap. Di dalam masjid ia selalu memanjatkan doa setelah solat. Semoga usahanya kali ini membuahkan hasil.

Esok pun tiba. Soim dengan pakaian kemarin, penuh percaya diri ke rumah orang itu. Ternyata, suami dan istri sudah menunggu. Dua anaknya yang masih SD juga ada di samping mereka. Soim dipersilakan masuk.

“Setelah diskusi dengan istri, kami setuju dik Soim tinggal di rumah. Apalagi anak-anak saya ini butuh guru ngaji. Selebihnya, dik Soim bisa bekerja bersih-bersih rumah dan halaman setiap hari. Ngantar anak-anak sekolah juga. Mengenai keinginan dik Soim mau kuliah, silakan cari kampus yang bisa menerima. Insya Allah, kami siap membiayai kuliah dik Soim,” jelas orang itu.

Saat itu juga Soim langsung menyalami orang itu, dan menangis. Sampai tangan orang itu basah oleh air matanya.
“Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah mau menerima saya bekerja di sini,” ucap Soim sambil menyeka air matanya.

Semenjak diterima bekerja, Soim mencari kampus. Ia pun diterima di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak. Orang yang menerimanya bekerja itu, salah satu orang penting di PLN Kalbar. Sambil bekerja di rumah itu, ia juga kuliah.

Akhirnya, kuliah bisa diselesaikan selama empat tahun. Soim sudah dianggap sebagai anak kandung. Saat ini, Soim bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dari bekerja itu ia bisa mengkuliahkan adik-adiknya.

Cerita Soim ini selalu saya ceritakan pada mahasiswa yang berasal dari kampung. Bila ada tekad kuat, kesulitan apapun bisa dijalani.

#camanewak


Like it? Share with your friends!