Oleh : Ketua Satupena Provinsi Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani
BIVITRI Susanti, Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari. Ketiganya dosen. Terbilang sangat berani. Berani menantang arus.
Lewat film Dirty Vote, trio dosen itu mengungkap kecurangan Pemilu 2024. Ketiganya saling sahut-menyahut mengungkap sejumlah kecurangan by data.
Rasanya, sangat berat untuk dibantah. Data dan fakta yang ditampilkan sangat valid dan kredibel.
Untuk bisa membantahnya harus apple to apple. Bantah juga dengan data dan film dokumenter. Atau, bantah dengan data tandingan.
Tak bisa dibantah dengan marah-marah sambil gelar konferensi pers dengan tuduhan fitnah.
Saya akui film yang di-upload di channel youtube DirtyVote sangat berisi. Jempol dan daging semua.
Dibuat 9 Februari, di-publish 11 Februari dengan durasi hampir dua jam. Sampai pada 12 Februari pukul 05.55 pagi ini jumlah views mencapai 2,9 juta lebih dan meraup 67,6 ribu subscriber.
Banyak channel besar _re-upload_ dan jumlah viewsnya sangat tinggi juga. Belum lagi sejumlah cuplikan penting dipotong menjadi video pendek dan di-upload di Tiktok, IG, dan FB. Film itu benar-benar merajai dunia maya.
Dirty Vote channel baru sudah meraup subscriber dan views sebanyak itu, sangat luar biasa. Kalau diajukan monetisasi bisa langsung diterima partner oleh youtube.
Artinya, video Dirty Vote viral dan akan terus menggema di masa tenang jelang pencoblosan 14 Februari.
Viralnya film ini membuat masa tenang jadi tidak tenang ya. Bukan saya, melainkan TKN 02. Kok hanya 02, padahal kubu 01 dan 03 juga ikut disebut. Kenapa 02 yang seperti “kepanasan.”
Wajar sih, karena klimak dari film itu adalah drama di MK yang meloloskan Gibran sebagai Cawapres. Drama di MK merupakan awal dimulainya serentetan kecurangan Pemilu 2024.
Bukan hanya MK disorot, KPU dan Bawaslu sebagai pelaksana dan wasit Pemilu tak luput dari sorotan tajam pedang ahli hukum itu.
Pelanggaran etika sampai ketidakberdayaan Bawaslu dibeberkan secara telanjang. Banyak fakta diungkap, panjang mau diceritakan.
Durasi mau dua jam, butuh waktu senggang menontonnya sampai habis.
Film ini disutradarai Dandhy Dwi Laksono, sosok yang terkenal kritis dengan penguasa.
Sebelumnya ia pernah membuat film dokumenter berjudul Sexy Killers yang membuat geger istana dan kaum oligarki.
Urat takut Dandhy ini sepertinya udah putus. Segala hujatan, bullian, ancaman, sudah menjadi santapan sehari-harinya.
Lewat film Dirty Vote, Dandhy seperti menantang kembali penguasa.
Tiga dosen di atas juga sangat berani. Ketiganya bukan kaleng-kaleng, pakar hukum tata negara. Sering wara-wiri di televisi nasional sebagai narasumber.
Di sini memperlihatkan dosen tidak hanya sibuk ngajar, tapi peduli terhadap persoalan bangsa dan negara.
Bukan hanya mengajar mahasiswa, tapi juga memberikan pencerahan soal hukum bagi masyarakat luas.
Mereka tidak takut bersuara lantang walau harus berhadapan dengan kelompok yang memiliki power sangat kuat.
Di negara demokrasi memang bebas berbicara. Namun, tak banyak yang berani berbicara melawan arus. Apalagi lantang menyoroti kebijakan para penguasa maupun pengusaha besar.
Akan banyak konsekuensinya. Kalau tak kuat nyali, jangan deh. Seperti sering disampaikan mantan Gubernur Kalbar, Cornelis, “Kalau berani jangan takut-takut. Kalau takut jangan berani-berani.”
Saya yakin Dirty Vote (suara kotor) akan terus mempengaruhi siapa saja yang menontonnya. Bisa mempengaruhi pilihan. Bagi yang sudah kuat imannya, tak bakal mengubah pilihan.
Begitu juga sebaliknya. Kalau saya sih, sudah mantap, tetap dengan pilihan terbaik.
#camanewak