Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SEBAGAI dosen, saya ikut menyuarakan ini. Menyuarakan hak, bukan menyuarakan yang lain. Walau hanya receh, paling tidak ikut mendukung semangat Fatimah.
“Lima tahun, Bung! Lima tahun hak kami menguap di antara tumpukan kertas birokrasi.”
Begitulah kira-kira jeritan batin Fatimah, dosen Politeknik Negeri Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Ia tidak sendiri.
Ada ribuan dosen di seluruh Nusantara yang bertanya-tanya, apakah hak atas tunjangan kinerja (tukin) mereka sudah dikunci di brankas kementerian dan lupa di mana kuncinya.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2020 jelas menyatakan bahwa dosen ASN berhak atas tukin. Tapi realitas berkata lain, nihil, kosong, zonk. Tahun demi tahun berlalu, peraturan itu seperti fosil, indah dilihat tapi tak ada gunanya.
“Kok sampai lima tahun, itu kan aneh ya sebenarnya,” kata Fatimah dengan nada setengah tertawa, setengah menangis. Ahad, 5 Januari 2025, menjadi momen refleksi pahit. Lima tahun berlalu sejak peraturan itu disahkan, dan janji tukin masih seperti angin malam di Padang Pasir, sejuk, tapi fana.
Menurut Kemendiktisaintek, absennya tukin ini akibat perubahan nomenklatur kementerian. Kementerian ini memang doyan berganti nama seperti selebriti yang bosan dengan citra lama.
Dari Kemenristekdikti, ke Kemendikbud, lalu ke Kemendikbudristek, kini menjadi Kemendiktisaintek. Perubahan ini, konon, membuat Kementerian Keuangan bingung. “Ini kementerian apa? Yang dulu, sekarang, atau besok?”
Namun, Fatimah dengan tegas menyanggah, “Nomenklatur berubah, tapi hak kami tidak ikut berubah. Kalau dosen tidak berhak, harusnya ada pasal pengecualian. Tapi nyatanya, tidak ada!”
Benar saja, dalam pasal pengecualian Permen Nomor 49 Tahun 2020, dosen tidak disebut. Jadi, mestinya hak tukin itu seperti matahari pagi — selalu ada, meski kadang tertutup awan.
Fatimah baru sadar tentang hak tukin ini pada Juni 2024. Mungkin karena selama ini dosen lebih sibuk mengurus mahasiswa, menulis jurnal, atau mengejar akreditasi kampus. Begitu sadar, Fatimah langsung bergerak seperti pejuang.
Ia melapor ke DPR RI, Kemendikbudristek, Kementerian Keuangan, BPK, hingga Ombudsman. Tapi apa hasilnya? Seperti menggali sumur di padang pasir. Airnya ada, tapi tak pernah muncul.
Pada September 2024, Fatimah dan koleganya bertemu dengan Direktur Sumber Daya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Lukman. Mereka dijanjikan pembayaran tukin akan dimulai pada 2025. Janji yang manis, tapi ternyata cuma permen karet yang kehilangan rasa.
Jumat, Januari 2025, Plt Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek Togar Mangihut Simatupang membuat pengumuman mengejutkan. Tidak ada tukin untuk dosen pada 2025. Alasannya? Lagi-lagi nomenklatur. Katanya, Kementerian Keuangan meminta kejelasan, tapi Kemendiktisaintek tidak memberikan. Akibatnya, anggaran tukin tak bisa diajukan.
“Bagaimana kita bisa menganggarkan kalau nomenklaturnya itu dan kejelasan kebijakan itu tidak ada?” ujar Togar, dengan nada serius yang sulit dibedakan dari ironi.
Togar mengklaim sudah meminta tambahan anggaran kepada DPR dan Kementerian Keuangan. Tapi melihat rekam jejak lima tahun terakhir, apakah ini akan jadi langkah maju, atau hanya langkah di treadmill birokrasi? Fatimah dan ribuan dosen lainnya hanya bisa berharap, sambil merapalkan doa agar 2025 tidak menjadi tahun keenam dari epik panjang ini.
“Hak kami bukanlah mitos. Tapi kenapa selalu diperlakukan seperti legenda urban?” ujar Fatimah, sambil menatap horizon, mungkin berharap jawabannya ada di sana.
#camanewak