Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (bagian 10)


Sholat Subuh Ba’da Pandemi Covid-19

Oleh : Wina Armada Sukardi

SAAT serangan covid-19 menggila, bukan hanya berdampak terhadap kebiasaan sosial, tetapi berpengaruh pula terhadap kebiasaan sholat subuh di mesjid, setidaknya yang hamba alami.

Dari segi sosial, kehadiran covid-19 sempat memporakporandakan jalinan sosial. Manusia tidak boleh berkumpul, jika pun ada pengecualian, hanya boleh beberapa orang saja. Itupun jarak
antara orang dibatasi.

Kantor pun banyak yang tutup. Kalau pun ada aktivitas, lebih banyak work from home (WFh) atawa bekerja dari rumah.
Proses belajar mengajar tidak lagi di kelas, melalainkan melalui zoom, atau online via HP. Banyak anak yang sudah mulai bersekolah selama sekitar dua tahun, tapi tak pernah punya teman sama sekali, karena memang tak pernah berkumpul layaknya sekolah normal.

Untuk melawan virus, kita dianjurkan divaksin. Dua kali vaksin dan dua kali booster. Mereka yang tidak vaksin tidak boleh masuk mall, naik peswat terbang atau kereta api. Sampai sekarang jika kita masuk stasion dan naik kereta MRT, masih diwajibkan pakai masker. Petugas masih sering menegur yang tidak memakai masker.

Demikian puks di MRT masih tetap tak boleh bicara sama sekali, termasuk memakai HP. (_Banyak yang menggugat kebijakan ini, karena dimana-mana sudah boleh tak memakai masker, termasuk di pesawat udara, kenapa di MRT masih menerapkan peraturan yang berbeda?_)

Begitu juga jika mau ketemu pejabat tinggi di kantor, kala itu, harus lebih dulu PCR atau setidaknya antigenen, maksimal berlaku 2X 24 jam sebelumnya.
Munculah peradaban baru. Manusia dimana-mana memakai masker. Sementara dalam hubungan sesama manusia tak ada lagi kebiasan salaman saat bersua.

Industri kesehatan bermunculan dimana-mana. Apalagi pada awal-awal muncul covid-19, untuk tes PCR mencapai harga Rp 1,5 juta. Sedangkan tesn atigen sekitaran Rp 700 ribu. Dapat dibayangkan berapa _coan_ yang mereka raup dari kasus ini. Belakangan diketahui, modal PCR tak lebih dari Rp 150 ribu, antigen pun tak lebih dari Rp 25 ribu.

Belakangan alat antigen malah dapat dibeli lewat on line, cuma Rp 250 ribu dapat dipakai 50 orang. Makanya terakhir-terakhir harga tes PCR cuma Rp 250 ribu dan atigen Rp 90 ribu.
Kiwari industri ini sudah hancur kembali sejak tak ada lagi pembatasan sosial.
Industri yang ikut berkembang pada masa pandemi covid-19 kuliner rumahan.

Sementara restoran bertumbangan karena pembatasan sosial dan orang enggan keluar, industri kuliner rumahan menjamur. Pemesanan melalui online melonjak. Banyak yang sempat “cuti” dari pekerjaannya untuk membantu isteri menangani pesanan kuliner (kini industri ini juga sebagian besar sudah tutup seiring tata sosial yang mulai normal).

Perabadan baru terjad i dalam proses pemakaman sebelumnya. Para penderita covid-19 dimakamkan di pemakaman khusus para penderita covid. Itu pun kalau meninggal di rumah sakit, jenazahnya harus dibawa langsung dari rumah sakit ke kuburan. Petinya pun masih dibungkus plastik pula. Ketika di kubur, keluarga harus berada dalam jarak jauh dari liang lahat sehingga keluarga tidak dapat menyaksikan, apalagi masuk, ke rumah peristirahatan terakhirnya.

Baju yang dipakai para pekerja untuk upacara pemakaman lantas dibakar. Maksudnya supaya tidak menularkan penyakit. Keadaan tak berbeda terjadi pada sholat subuh di menjid. Ketika mesjid masih baru tutup, tak ada jemaah yang datang. Cuma pengyrys mesjid saja yang betugas di tempat ibadah itu.

Ini berlangsung sekitar 1,5 – 2 tahunan. Mesjid sejak subuh melompong.
Manakala pembatasa sosial mulai dikurangi, sedikit demi sedikit kemaah mulai datang lagi ke mesjid, termasuk sholat subuh di mesjid. Jemaah sebagian besar datang masih memamakai masker. Jarak antara jemaah juga sengaja di renggangkan.

Selama serangan covif-19, baik priode delta maupun omicrom, terus terang saja hamba tidak ke mesjid. Bukan hanya tidak sholat subuh di mesjid, tapi juga sama sekali tidak sholat lainnnya di mesjid. Baik ketika covid-19 masih era delta maupun era omocron saya sholat di rumah saja.

Kalau sholat jumat, hamba dan anggota keluarga membentuk jemaah sendiri di rumah. Belakangan sesudah ada pelonggaran pembatasan sosial, lantaran suara mesjid sampai dengan jelas ke rumah dan mesjid terlihat dari rumah, kami sholat jumat di rumah tapi mengikuti sholat dari mesjid. Dalam keadan darurat, soal sah tidaknya sholat semacam itu , kami serahkan kepada Sang Pencipta.

Sebelum pandemi covid-19 hadir, tak begitu banyak “ritual” untuk sholat subuh. Sebaliknya setelah pelonggaran pembatasan sosial dan hamba ini mulai sholat subuh di mesjid lagi, proses sebelum dan sesudah sholat subuh di mesjid lebih “ruwet.”

Berangkat sholat subuh di mesjid awalnha masih selalu memakai baju lengan panjang. Tutup kepala yang sejauh mungkin menutup rambut sampai batas ke kuping. Ditambah lagi masker, sehingga yang terlihat dan terbuka cuma mata saja. Layaknya seperti ninja saja.Hehehe.
Tak ketinggalan, hamba membawa sajadah sendiri, biar lebih aman.

Di mesjid pun ketemu jemaah lain cuma mengangguk tanpa salaman.
Selesai sholat subuh langsung segera pulang. Di rumah seluruh pakian langsung masuk cucian. Jadi, sekali pakai langsung cuci. Tak ada cerita pakian yang sudah dipakai sholat subuh di mesjid masih disimpan untuk dipakai esok atau lusanya.
Di rumah pun, begitu sampai dan ganti baju, langsung disambung mandi. Mau tidur lagi, nyantai atau pergi, pulang sholat subuh dari mesjid “wajib” mandi.

Kebiasan di mesjidpun agak berubah. Semula setelah sholat subuh, jamaah dan imam serta sesama jemaah berbaris bersalaman-salaman, silahturahmi. Sejak covid-19 menyerbu, “tradisi” salam tersebut tak ada lagi.

Sedikit demi sedikit pandemi covid-19 mulai berkurang. Terjadi pula proses perubahan pada diri hamba pribadi dan juga di mesjid. Baju tak lagi selalu lengan panjang. Masker pun sudah dilepas.
Pulang dari mesjid tak lagi harus selalu mandi, tapi cukup cuci seluruh tangan, muka dan rambut. Untuk praktisnya hamba membeli pembersih “3 in 1” yaitu pembersih yang dapat dipakai untuk mencuci rambut, muka dan tangan (dan badan).

Ini karena kebetulan rumah saya bertingkat. Waktu pulang, hamba mandi di kamar atas. Jadi semua perlengkapan mandi ada di atas. Setelah memasuki priode “mencuci” tangan, muka dan rambut, saya lakukan di kamar mandi bawah. Maklumlah setelah itu mau tidur dengan cucu yang tidur di kamar bawah.

Baju pun, yang sama sudah mulai berani dipakai dua tiga hari, hanya saja baju tersebut sebelumnya begitu pulang mesjid masih disemprot dengan disinfektan sprey dan ditempatkan terpisah.

Suasana mesjid pun sudah mulai menuju normal sepenuhnya. Jemaah sudah boleh menempati posisi normal dan tidak lagi harus ada jarak. Sebagian besar jemaah subuh sudah pula tak memakai masker. Hanya mereka yang memiliki komorbid dan atau sedang merasa tidak enak badan, masih memakai masker. Seusai sholat, khususnya serelah penceramah selesai, telah mulai ada barisan yang saling bersalaman, meski jumlahnya belum banyak.

Kalau sholat Jumat pun mesjid sudah penuh kembali. Kami pun keluarga sudah pula sholat Jumat di mesjid.
Sejatinya islam mengajarkan kita menjaga kebersihan, baik diri maupun k ilngkungan. Memgambil wudu atau air sambayang, misalnya, jelas mendidik kita untuk menjaga kebersihan diri. Bukan hanya tangan saja, tetapi juga hidung, kuping, muka, rambut dan kaki. Itu artinya sejak mula islam sudah mewanti-wanti umatnya agar menjaga kebersihan.

Selain mejalankan perintah Allah, ternyata kebesihan juga untuk mencegah datangnya penyakit, termasuk menampik virus, virus apapun, juga covid-19. Kebersihan merupakan upaya mencegahan, menghindari dan juga mengatasi penyakit, tak terkecuali covid-19.

Ajaran islam dalam hal ini sudah lebih dahulu “menembus” dimensi yang sebelumnya tidak begitu diperhatikan manusia. Kehadiran covid-19 lebih menyadari kita betapa hebatnya jangkauan nilai-nilai islami.

T a b i k!***

Bersambung…..

*Wina Armada Sukardi, * wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah.

(Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi yang tidak mewakili organisasi).


Like it? Share with your friends!