FOTO : Ustaz Da’ad Latif [ AI ]
Oleh : Rosadi Jamani ; Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
MASIH cerita kelakuan PPATK. Makin tak waras. Tabungan Ustaz Das’az Latif pun diblokir. Kenapa tidak rekening bos judol di Yogya itu.
Sambil menunggu malam minggu tiba, simak narasi “kegilaan” lembaga yang dipimpin Ivan Yustiavanda itu. Siapkan juga kopi tanpa gulanya, wak!
Di sebuah negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, ada lembaga yang kerjanya mirip satpam komplek. Bedanya, satpam ini tidak menjaga rumah orang dari maling, tapi malah mengunci pintu rumah orangnya sendiri, lalu bilang, “Santai, ini demi keamanan Bapak.”
Lembaga itu bernama PPATK.
Minggu lalu, Ustaz Das’ad Latif, pendakwah tenar, mau bayar semen dan besi buat bangun masjid. Pikirnya, ya tinggal tarik tabungan. Eh, pas sampai bank, plot twist! Rekeningnya diblokir.
Alasannya? Dormant. Tidak aktif tiga bulan.
Oh, maaf Ustaz, ternyata di republik ini, menabung itu adalah kejahatan paling keji setelah korupsi.
PPATK pun berdalih. “Kami melindungi masyarakat dari penyalahgunaan rekening.”
Tapi lucunya, uang yang katanya “dilindungi” ini malah harus ditebus untuk bisa dipakai lagi.
Ibaratnya, mobil nuan dikunci di garasi tetangga, lalu tetangga bilang, “Tenang, saya lindungi mobil ente. Kalau mau pakai, bayar 100 ribu.” Ini bukan perlindungan, ini paket perampokan ber-kuitansi.
Yang bikin absurd, Presiden Prabowo sudah bilang “Batalkan pemblokiran!” Tapi PPATK? Ngeyel. Perintah kepala negara mereka taruh di laci paling bawah, mungkin sambil nyeduh kopi. Kalau ini drama Korea, PPATK sudah cocok jadi tokoh antagonis yang nantangin bos mafia.
PPATK juga pamer data. Kebijakan ini berhasil menurunkan judi online 74%. Wow. Tepuk tangan. Tapi kok yang kena malah uang masjid? Apakah semen dan besi sudah masuk kategori chip judi? Atau ada slot online baru bernama Slot Kubah Emas?
Bayangkan, wak! Ada Rp300 juta hasil ceramah keliling Indonesia untuk bangun masjid, malah di-freeze seperti es batu di freezer. Untuk cair lagi, harus nunggu 7 hari, plus bayar biaya aktivasi:
– BNI: Rp100 ribu
– BSI: Rp10 ribu
– Mandiri: sampai Rp250 ribu
– BCA: Rp1 ribu–Rp2 ribu (ya ampun murah banget, tapi tetap absurd)
– BRI: gratis sampai Rp25 ribu
– BTN & Danamon: sampai Rp150 ribu
Kalau 120 juta rekening diblokir dan masing-masing bayar rata-rata Rp50 ribu, itu Rp6 triliun! Siapa yang butuh tambang emas kalau punya tambang “rekening dormant”?
Masalahnya, di dunia penuh sandiwara ini, uang itu seperti air. Kalau mengalir, ia memberi kehidupan. Tapi PPATK malah bikin bendungan, lalu jual tiket buat buka pintunya.
Kalau ini dibiarkan, jangan heran kalau nanti menabung dianggap sama berbahayanya dengan menyelundupkan narkoba.
Sungguh, negeri ini kadang lucu. Warga disuruh rajin menabung, tapi ketika mereka menabung, uangnya dikunci, lalu kuncinya disimpan di laci yang cuma bisa dibuka pakai uang lagi.
Filsafatnya sederhana, di sini, uangmu adalah uang negara, sampai negara bilang, ini uangmu lagi.
Kalau hari ini yang kena ustaz, besok bisa jadi siapa saja. Bahkan panjengan, yang sekarang baca artikel ini sambil mikir, “Untung rekeningku cuma ada seribu perak.”
Kadang, ketidakadilan tidak datang dari mereka yang kita anggap musuh, tetapi justru dari lembaga yang mengaku melindungi kita.
Uang yang dikumpulkan dengan susah payah untuk tujuan mulia bisa saja terhenti di tengah jalan hanya karena aturan yang kaku dan pelaksanaan yang tidak memandang sisi kemanusiaan.
Dari sini, kita belajar bahwa kekuasaan tanpa empati hanyalah mesin dingin yang memproses angka, bukan nasib manusia.
Kita juga diingatkan bahwa keadilan sejati bukan sekadar menjalankan prosedur, tetapi memastikan tujuan awalnya tercapai tanpa melukai yang tak bersalah.
Saat kebijakan melupakan nilai kemanusiaan, masyarakat berhak bersuara. Karena diam berarti memberi ruang bagi kesewenang-wenangan untuk tumbuh, sementara bersuara adalah cara kita menjaga agar hukum tetap berpihak pada keadilan, bukan sekadar pada teks aturan.
#camanewak