Ketika Amerika Bicara Damai dengan Bom di Tangan


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

LOS ANGELES membara. Api menelan segalanya, rumah, nyawa, harapan. Dua puluhan nyawa hilang. Ribuan orang terusir dari tempat mereka menyebut “rumah.”

Mereka membawa kenangan yang kini hanya abu. Harta benda berubah jadi asap yang menghilang di langit kelabu. Tapi tragedi ini hanya potongan kecil dari puzzle kejam dunia.

Di Gaza, situasinya lebih brutal, lebih dingin, lebih penuh darah. Empat puluh ribuan nyawa melayang. Empat puluh ribuan mimpi musnah. Jalanan Gaza adalah museum kehancuran; bangunan runtuh, tubuh terkapar, anak-anak berteriak di bawah debu.

Bom jatuh seperti hujan deras, hanya saja hujan ini membakar, membunuh, menghancurkan segalanya.

Di tengah reruntuhan itu, Amerika bersuara. Oh, bukan untuk meminta maaf. Bukan untuk mengakui tangan mereka yang berlumur darah. Presiden Joe Biden muncul dengan pidatonya yang, katanya, penuh “kepedulian.” Dia bicara tentang perdamaian di Gaza. Dia bicara tentang gencatan senjata. Dia bicara tentang bantuan kemanusiaan.

Bantuan kemanusiaan? Dari negara yang mendanai Israel hingga ke peluru terakhir? Dari negara yang menyuplai bom-bom yang kini menghujani Gaza? Bantuan mereka seperti tangan kanan yang memberi roti sementara tangan kiri menyalakan api yang membakar dapur. Ini bukan kepedulian, ini cemoohan atas penderitaan.

Biden, sang “pahlawan damai,” berbicara lewat telepon dengan Netanyahu. Mungkin mereka berdiskusi hangat sambil menyesap kopi. Tentang sandera, tentang gencatan senjata, tentang stabilitas regional.

Oh, betapa mulianya. Di atas meja perundingan, mereka berbagi kata-kata manis. Sementara di bawah meja, bom terus dirakit, peluru terus dihitung.

Mereka bicara tentang Lebanon. Tentang Suriah. Tentang Iran. Semua negara yang telah mereka cap sebagai “musuh.” Tak ada pembicaraan tentang Gaza yang kini tak lebih dari kuburan massal.

Tak ada pembahasan tentang keadilan bagi mereka yang kehilangan keluarga, rumah, dan tanah. Amerika terlalu sibuk menjaga hegemoninya, terlalu sibuk membela Israel atas nama “keamanan.”

Standar ganda? Itu terlalu halus. Amerika adalah ahli dalam mengukir wajah kepalsuan. Mereka berbicara damai sambil menjual senjata. Mereka memerangi terorisme sambil menciptakan teroris baru. Mereka bicara tentang hak asasi manusia, kecuali bagi mereka yang darahnya tidak cukup “berharga” untuk diperjuangkan.

Maka, Gaza terus menangis. Los Angeles terus terbakar. Amerika? Mereka terus bicara, karena kata-kata lebih murah dari nyawa. Sementara itu, dunia hanya bisa menyaksikan, marah tapi tak berdaya, menunggu bom berikutnya jatuh.

#camanewak


Like it? Share with your friends!