Sebuah Cerpen, “Hari Guru yang Tak Terlupakan”


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat]

LANGIT Andoolo kelabu, seperti mencerminkan hati Supriyani yang gundah. Ia melangkah perlahan menuju ruang sidang, mengenakan baju kebaya sederhana yang dulu ia jahit sendiri.

Tangan kirinya menggenggam erat sebuah tas usang, tas hadiah murid-muridnya di Hari Guru dua tahun lalu.

Di depan pintu ruang sidang, ia berhenti. “Bu Supriyani, yakin kuat?” tanya Winda, sahabatnya sesama guru, yang mendampinginya sejak awal kasus ini.

“Aku nggak tahu, Win. Aku cuma… aku cuma ingin semua ini selesai,” jawab Supriyani, suaranya gemetar.

Ruang sidang itu seperti gua gelap yang menelannya. Semua mata tertuju padanya, seakan menilai apakah ia pantas disebut guru atau hanya sekadar terdakwa.

Ketua Majelis Hakim membuka sidang. “Terdakwa Supriyani binti Sugiarto, mari kita lanjutkan pembacaan putusan.”

Supriyani menunduk. Rasanya ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia tidak bersalah, tapi kata-kata itu selalu tercekat di tenggorokannya.

“Bu Guru,” sebuah suara kecil tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Supriyani menoleh. Di sudut ruangan, seorang bocah laki-laki berdiri, mengenakan seragam sekolah. Itu Aldi, salah satu muridnya.

Aldi melambaikan tangannya, menyemangati. “Bu Guru, saya percaya Ibu baik. Jangan takut ya!”

Air mata Supriyani menggenang. Ia tersenyum kecil, lalu menunduk lagi, menggigit bibir agar tangisnya tidak pecah.

Hakim mulai membacakan putusan. “Setelah menimbang semua fakta dan bukti di persidangan…”

Ruang itu terasa sunyi. Detik jam di dinding seperti pukulan keras di dada Supriyani.

“…Menyatakan terdakwa Supriyani binti Sugiarto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.”

Suasana hening sesaat. Kalimat berikutnya menggema.

“…Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan.”

Supriyani membeku. Hatinya kosong. Ia bahkan tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

“Bu Supriyani, kita menang!” bisik Winda sambil mengguncang bahunya.

Supriyani tiba-tiba menangis keras. Ia jatuh berlutut di lantai, menangis seperti anak kecil yang kehilangan, lalu menemukan kembali harapan.

“Kenapa saya harus melalui ini semua, Win? Kenapa? Apa salah saya sampai dituduh seperti ini?” isaknya di tengah keheningan.

Winda memeluknya erat. “Sudah selesai, Bu. Sudah selesai.”

Guru-guru lain yang hadir menghambur memeluk Supriyani. “Kami tahu kamu nggak bersalah. Kami selalu percaya, Supri!” ujar salah satu dari mereka.

Ketua Majelis Hakim menambahkan. “Kami memulihkan nama baik terdakwa, kedudukan, serta martabatnya. Saudari Supriyani, Anda adalah seorang guru. Tugas Anda mulia. Kembali dan didik anak-anak dengan cinta.”

Saat Supriyani keluar dari ruang sidang, ia dikejutkan oleh pemandangan di luar. Murid-muridnya berdiri berbaris, memegang bunga plastik dan kertas warna-warni yang mereka buat sendiri.

“Bu Guru!” Aldi berteriak paling keras, berlari menghampirinya. Ia menyerahkan bunga plastik berwarna kuning. “Kami selalu percaya Ibu baik.”

Supriyani memeluk Aldi, menangis keras di bahunya. “Kalian percaya, ya? Meski semua orang nggak percaya sama Bu Guru?”

“Iya, Bu. Kalau nggak ada Ibu, saya nggak akan suka belajar. Ibu itu pahlawan saya,” kata Aldi dengan suara polos.

Para murid ikut memeluk Supriyani. Guru-guru dan wali murid yang datang ikut terisak. Di tengah kerumunan, seorang ibu mendekati Supriyani. Itu ibu dari anak yang sempat dituduhkan jadi korban.

“Saya salah, Bu Supriyani,” katanya dengan suara bergetar. “Anak saya sudah cerita… itu semua cuma salah paham. Saya… saya terlalu emosi. Maafkan saya.”

Supriyani menatapnya lama, air matanya terus mengalir. Tapi ia tersenyum. “Saya sudah memaafkan sejak awal, Bu. Saya hanya ingin bisa mengajar lagi. Saya hanya ingin murid-murid saya bahagia.”

Langit Andoolo yang kelabu berubah cerah. Matahari malu-malu menampakkan diri. Hari Guru kali ini adalah yang paling tak terlupakan bagi Supriyani. Bukan karena hadiah, tetapi karena keadilan akhirnya berpihak padanya.

Ia berjalan pulang dengan kepala tegak. Hatinya remuk, tapi ia tahu, ia telah menang. Ia telah menyelamatkan apa yang paling ia cintai, anak-anak didiknya, harapan masa depan.

#camanewak


Like it? Share with your friends!