FOTO : DR. Rosadi Jamani (dok)
Oleh : DR. Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalimantan Barat)
SEORANG gadis masih tersandar di kursi. Sementara yang lain mulai meninggalkan ruangan. Pipinya basah.
Mulutnya sangat berat menahan nafas. Terisak-isak. Air matanya terus mengalir, menetes dari kelopak sampai membasahi baju.
Ia tak kuasa membendung butiran air dari celah retinanya.
Tak jauh dari kursi itu, seorang laki-laki berkaca mata juga merasakan hal sama.
Ia terkulai saat merasakan sedih. Air matanya penuh dengan air. Sampai badannya miring ke kiri. Badannya berat untuk meninggalkan ruangan. Berkali-kali ia menyeka air matanya tetap saja keluar.
Dua orang tadi, baru saja menonton film Air Mata di Ujung Sajadah. Ditambah mendengarkan lagu Dawai dari Fadhilah Intan semakin syahdu. Film ini sukses membuat rakyat Indonesia menangis.
Betapa tidak, siapapun yang nontonya dijamin berderai air matanya. Kecuali, bagi yang tak punya emosional.
Film ini disutradarai Key Mangunsong. Penulis skenarionya Titien Wattimena. Film yang diproduksi oleh Beehave Pictures dan Multi Buana Kreasindo Productions ini diproduseri oleh Ronny Irawan dan Nafa Urbach. Cerita ditulis oleh Ronny Irawan.
Pemeran utamanya Titi Kamal, Fedi Nuril, dan Citra Kirana. Film yang membuat penonton mengharu biru. Rata-rata kawan yang menonton film ini, menangis. Hanya ada tangisan.
Tapi, bukan tangis sedih ibu meninggal atau kehilangan orang dicintai. Menangis ikut larut penuh emosional seperti dalam film itu.
Cuma, belakangan film ini dipertayakan soal hak ciptanya. Banyak mengatakan film itu diadaptasi dari novel Cinta di Ujung Sajadah karya Asma Nadia.
Sementara produser film tak pernah menghubungi penulis novel best seller itu. Kalau bukan dari novel, berarti dari penulis skenarionya. Hebat. Saya tak bahas lebih lanjut soal ini ya.
Saya mau bahas sisi emosional film itu. Kenapa banyak menangis? Saya yakin, ente bila menonton juga, berderai air mata. Sebagai bukti, ente seorang manusia yang punya emosi, simpati, dan empati.
Sifat inilah yang membedakan kita dengan robot. Robot perang diprogram hanya untuk membunuh. Siapapun manusia yang ada di depannya, bila membawa senjata harus dibunuh.
Ia tidak peduli lawan terdesak, menyerah, atau terluka. Berbeda bila manusia, saat musuh menyerah, sifat emosionalnya muncul.
Tak boleh dibunuh, cukup ditangkap. Saat pengungsi terdampar, ia akan tolong dan dikasih makan. Padahal, bukan satu ras, bukan sebangsa.
Di saat Israel menyerbu Gaza, ribuan orang terbunuh, emosional manusia muncul di mana-mana.
Muncul gerakan kemanusiaan. Mereka tergerak karena ada emosi. Ketika emosi itu tidak ada, dia robot bukan lagi manusia.
Film yang dirilis Juli lalu itu sukses membangkitkan emosi. Konflik rumah tangga, punya istri dua, konflik memperebutkan anak menimbulkan empati mendalam.
Konflik rumah tangga selalu ada. Siapapun pernah mengalaminya. Kecuali, high quality jomblo.
Umumnya kita senang melihat orang konflik. Apalagi konflik itu viral. Kadang, orang tak berkonflik pun didramatisir seperti penuh konflik.
Contoh, keluarga besar Presiden Jokowi seperti penuh konflik. Drama MK, paman Usman, asam sulfat, Pak Lurah dan Bu Lurah, Jokowi vs Megawati, Gibran takut Debat, ijazah palsu, dll. Seolah-olah penuh konflik.
Di balik konflik menimbulkan emosi. Ada yang senang. Ada yang sedih. Ada yang tepuk tangan. Penuh emosional.
Apalagi di dunia politik. Konflik seperti tiada henti. Kadang penuh eforia. Kadang penuh amarah. Kadang penuh hore-hore. Penuh emosional.
Ada tangis saat kalah. Ada jingkrak-jingkrak saat menang. Ketika ada konflik, di situ emosional yang diaduk.
Sekali lagi, beda manusia dengan robot terletak pada emosionalnya. Menangislah di saat hukum diubah untuk kepentingan pribadi.
Menangislah di saat banyak tak merasakan keadilan hukum. Menangislah di saat banyaknya anak-anak mengakses video porno, judi online.
Menangislah di saat semakin tingginya angka perceraian. Ya, banyak sih mau ditangiskan. Tertawalah ketika orang semakin sejahtera. Senang melihat orang sejahtera.
Sejahtera rasanya melihat banyak yang senang. Bukan sebaliknya ya. Senang melihat orang susah.
Beruntunglah ente bila masih bersemayam emosional dalam hati, punya empati dan simpati.
Bila itu sudah tidak ada lagi, ente tak lebih dari seorang robot.
#camanewak