Radar KalbarRadar Kalbar
  • Home
  • Indeks
  • Kalbar
  • Nasional
  • Peristiwa
  • Politik
  • Ragam
  • Lainnya
    • Hukum
    • Olah Raga
    • Gaya Hidup
    • Bisnis
    • Figur
    • Tekno
    • Entertainment
Radar KalbarRadar Kalbar
  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang
Pencarian
  • Home
  • Indeks
  • Kalbar
  • Nasional
  • Peristiwa
  • Politik
  • Ragam
  • Hukum
  • Olah Raga
  • Gaya Hidup
  • Bisnis
  • Figur
  • Tekno
  • Entertainment
Radar Kalbar > Indeks > Opini > Darah di Laut Selangor
Opini

Darah di Laut Selangor

Last updated: 27/01/2025 09:21
27/01/2025
Opini
Share

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

BELUM kering air mati kepergian Shin Tae Yong, negeri ini kembali menangis. Seorang pekerja migran harus meregang nyawa, ia ditembak oleh petugas Malaysia.

Tewas. Kopi pun terasa hambar, yok kita bahas kisah tragis orang yang ingin mencari hidup di negeri seberang.

Dini hari itu, laut Selangor merintih. Langitnya gelap, anginnya tenang, tapi perairannya bergetar. Ada yang datang. Sebuah kapal kecil, ringkih, dipenuhi lima manusia yang membawa harapan dari seberang.

Tapi harapan itu segera dihentikan. Dingin, cepat, brutal.

Suara tembakan memecah sunyi. Laut menjadi saksi. Di perairan Tanjung Rhu yang bisu, peluru-peluru melesat. Mencari tubuh-tubuh lelah yang hanya ingin bertahan hidup. Kapal kecil itu, katanya, mencoba menyerang kapal patroli Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM).

Sebuah ironi. Sebuah kapal reyot melawan lambang kekuatan negara. Sebilah parang melawan laras panjang yang siap memuntahkan kematian.

Pukul 03.00 waktu setempat, patroli APMM mendeteksi keberadaan kapal itu. Lima PMI di dalamnya, katanya, terlihat mencurigakan. Tak ada sirine peringatan. Tak ada waktu untuk bicara. Yang ada hanya kesimpulan, mereka musuh. Mereka ancaman.

“Empat kali kapal itu menabrak kapal kami,” begitu kata Kepala Polisi Selangor, Datuk Hussein Omar Khan. Empat kali. Sebuah klaim yang mengundang tanya, dengan ukuran kapal kecil itu, apakah benar bisa menabrak kapal patroli berlapis baja sebanyak itu? Atau, jangan-jangan, ini narasi untuk membangun citra heroisme?

Dua dari mereka, katanya lagi, melompat dengan parang di tangan. Parang, senjata tradisional yang sekarang disebut sebagai simbol kriminal. Saat parang itu diangkat, peluru-peluru melesat. Sebuah keputusan sepihak yang tak memberi kesempatan siapa pun untuk membela diri.

Enam jam setelah peluru-peluru dilepaskan, kapal itu ditemukan karam di Pantai Banting. Dua tubuh ditemukan di dalamnya. Satu tak lagi bernapas. Satunya lagi berjuang melawan ajal. Tiga lainnya, dengan tubuh penuh luka, ditemukan di tempat berbeda.

Luka yang bukan hanya fisik, tapi juga luka yang menggores dalam, luka karena dianggap musuh di negeri yang mereka tuju demi sesuap nasi.

Ambulans pun datang. Terlambat, tentu saja. Seperti keadilan yang selalu datang terlambat bagi pekerja migran. Tubuh yang tak lagi bernyawa dibawa ke kamar mayat, yang kritis ke ruang gawat darurat, sementara tiga lainnya dirawat tanpa nama, tanpa suara, di rumah sakit yang jauh dari kampung halaman mereka.

Laut memang tak berpihak. Ia hanya menyimpan cerita. Di laut Tanjung Rhu, cerita itu berakhir dengan darah yang tumpah, tubuh yang rubuh, dan harapan yang musnah.

Tak ada pahlawan dalam tragedi ini. Yang ada hanyalah manusia yang saling menuding.

APMM berdiri di podium, berkata lantang bahwa mereka hanya melindungi diri. Mereka yang datang dengan parang dianggap pembunuh potensial, bukan korban keadaan. Media Malaysia, tanpa jeda, memuji keberanian aparat. “Mereka diserang, dan mereka membalas,” begitu narasinya.

Tapi bagaimana dengan versi lima orang di kapal kecil itu? Sayangnya, hanya laut yang tahu. Sebab satu sudah mati, satu hampir mati, dan tiga lainnya tenggelam dalam trauma yang mungkin tak akan pernah bisa mereka ceritakan.

Inilah takdir para Pekerja Migran Indonesia. Mereka meninggalkan tanah kelahiran, menggadaikan jiwa demi keluarga yang menunggu di rumah.

Tapi di negeri orang, mereka bukan pahlawan keluarga. Mereka hanya angka. Hanya nama yang disebut dalam laporan.

Mereka melawan gelombang, melawan lapar, melawan dingin. Namun akhirnya mereka kalah melawan sesuatu yang lebih besar, kekuasaan yang bersenjatakan logika tanpa belas kasihan.

Di laut Tanjung Rhu, pagi itu, parang-parang menjadi senjata terakhir untuk bertahan. Tapi siapa yang peduli? Mereka mati, luka, atau hidup, tetap saja mereka akan disebut ancaman.

Kini, laut kembali tenang. Tapi bukan karena damai. Melainkan karena nyawa yang tenggelam di dalamnya. Peluru-peluru telah berbicara, lebih lantang dari jerit para korban.

Di seberang, keluarga-keluarga di Indonesia menunggu kabar. Tapi kabar itu tak datang dalam bentuk suara. Ia datang dalam bentuk peti.

Sebuah pengingat bahwa di dunia ini, keadilan hanya mewah bagi mereka yang memiliki kuasa.

Sementara sisanya? Hanya cerita yang perlahan dilupakan, seperti darah yang hilang ditelan ombak.

#camanewak

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
TAGGED:Laut SelangorPMI
Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp Telegram Copy Link

Terpopuler Bulan Ini

Terpilih Dalam Musdesus, Ronald Yohanes Sinlae Resmi Nakhodai Koperasi Desa Merah Putih Cempedak Tayan Hilir

31/05/2025
Kamiriluddin Desak PT KAL dan Pemerintah Bersikap, Ratusan Pekerja di Kayong Utara Dibayangi Ketidakpastian
21/05/2025
Koq Bisa..! Solar Subsidi Ngalir ke Penambang Emas Ilegal, Begini Penjelasan Dinas Perdagangan Sekadau
20/05/2025
Dari Desa ke Panggung Provinsi, Semangat Juang Siswa SDN 04 Tayan Hilir Tembus Kejuaraan Taekwondo Kalbar
17/06/2025
Menanti Terang di Ujung Kampung, 60 KK di Lingkungan RT : 02 Mayak Engkare Cempedak Tayan Hilir Masih Hidup dalam Gelap
29/05/2025

Berita Menarik Lainnya

Disuruh Nyerah Tanpa Syarat, Iran Malah Kirim Fattah 1

14 jam lalu

Begitu Susahnya Tito Minta Maaf pada Rakyat Aceh

14 jam lalu

Akhirnya, Prabowo Kembalikan Empat Pulau ke Aceh

17/06/2025

Parah Wak! Koruptor Cuma Divonis 1,6 Tahun Penjara

16/06/2025

PT. DIMAS GENTA MEDIA
Kompleks Keraton Surya Negara, Jalan Pangeran Mas, No :1, Kel Ilir Kota, Sanggau, Kalbar

0812-5012-1216

Terkait

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi

Regional

  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang
  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang