Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SAYA heran. Tulisan saya berjudul “Budaya Korupsi Indonesia Didaftarkan ke UNESCO” saya kira bakal bikin netizen ngamuk. Saya kira mereka bakal menjerit.
“Masa sih budaya kita korupsi?” Saya kira para ahli budaya atau menteri budaya akan marah, membantah narasi yang saya buat.
Tapi tidak.
Tak ada yang protes. Tak ada yang bilang saya keterlaluan. Tak ada yang minta saya cabut tulisan itu. Justru mereka setuju. Mendukung. Diam-diam mengangguk di balik layar.
Ini tanda bahwa mereka tak bisa menyangkal. Tanda bahwa, di dunia nyata, korupsi memang sudah jadi budaya.
Lalu saya menulis lagi, “Tinggal Selangkah Lagi, Korupsi Menjadi Kearifan Lokal.” Saya pikir kali ini bakal ada yang berontak. Setidaknya ada satu-dua pejabat yang tersinggung, atau akademisi yang buru-buru menulis bantahan di jurnal.
Tapi lagi-lagi… tak ada. Tak ada yang membantah, tak ada yang melawan diksi saya.
Ternyata, semua orang diam bukan karena setuju. Tapi karena mereka tahu, saya tidak salah. “Yang salah itu, orang dalam Lapas, Bang,” celetuk Matasam.
Kalau memang korupsi sudah seperti kearifan lokal, maka harus ada pedoman yang lebih jelas. Kita tak bisa membiarkan orang-orang korupsi dengan cara yang asal-asalan.
Harus ada metode. Harus ada seni. Harus ada langkah-langkah yang elegan, agar seorang koruptor tidak sekadar mencuri, tetapi juga tidak tersentuh hukum.
Maka, inilah panduan elegan sekaligus absurd menjadi koruptor yang tak tersentuh hukum.
Pertama, mulailah dari Skala Kecil. Jangan langsung menyikat miliaran. Nanti kaget, nanti panik. Mulailah dari uang perjalanan dinas fiktif, proyek pengadaan seragam, atau markup anggaran pengadaan bolpoin hingga setara harga iPhone terbaru. Masyarakat tidak peduli kalau “hanya” korupsi kecil-kecilan.
Kedua, bangun jaringan, bukan sekadar jabatan. Jabatan itu penting, tapi jaringan lebih penting. Ente harus punya teman di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, media, dan tentu saja, dunia perpolitikan.
Jika bisa, jadikan menantu sebagai hakim, anak sebagai anggota DPR, dan istri sebagai komisaris BUMN. Ini bukan nepotisme. Ini investasi perlindungan hukum.
Ketiga, citra amal dan religius adalah kunci. Dirikan yayasan sosial, buat program santunan, bagi-bagi sembako. Pastikan kamera selalu ada saat ente beramal. Setiap sumbangan harus ada plakat nama ente. Lalu, jangan lupa selipkan frasa sakral di setiap pidato, “Saya hanya ingin mengabdi pada negeri.”
Keempat, jangan korupsi sendirian. Selalu ajak banyak pihak, dari staf hingga atasan. Ini bukan sekadar berbagi rezeki, tetapi juga membangun sistem pertahanan. Jika suatu hari ada yang tertangkap, ente bisa berkata, “Saya hanya menjalankan perintah.” Atau, kalau lebih nekat, “Kenapa cuma saya yang ditangkap?”
Kelima, manfaatkan media dan influencer. Saat tersandung kasus, panggil buzzer dan influencer. Bangun narasi bahwa ente korban fitnah, korban politik, atau korban kezaliman sistem. Kalau bisa, rekayasa video ente sedang menangis sambil berkata, “Saya difitnah!” Jangan lupa tambahkan backsound lagu sedih biar lebih dramatis.
Keenam, sakit adalah alibi terbaik. Jika akhirnya tertangkap, pura-puralah sakit. Minimal pakai kursi roda dan masker saat masuk persidangan. Kalau perlu, tambahkan infus sebagai properti. Jika memungkinkan, minta izin berobat ke luar negeri. Kalau tidak, setidaknya minta ruangan tahanan dengan fasilitas VIP.
Ketujuh, jangan khawatir soal hukuman. Ada diskon. Dengan tim pengacara dan koneksi yang tepat, hukuman ente bisa lebih ringan dari maling sendal.
Vonis 10 tahun? Bisa jadi 2 tahun. Penjara? Bisa berubah jadi tahanan rumah. Kalau masuk penjara pun, pastikan ente dapat sel khusus dengan AC dan kasur empuk.
Kedelapan, siapkan exit plan yang manis. Jika situasi semakin sulit, ada dua jalan, pura-pura tobat atau menghilang.
Pura-pura tobat berarti kembali ke masyarakat sebagai motivator, penceramah, atau pembicara di seminar “Pemberantasan Korupsi.”
Jika tidak, kaburlah ke negara tanpa perjanjian ekstradisi, beli vila di tepi pantai, dan nikmati hidup.
Begitulah bila korupsi sah jadi budaya dan local wisdom resmi. Korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar kejahatan.
Ia telah menjadi seni. Seni merampok uang rakyat dengan keanggunan. Ada teknik, ada prosedur, ada strategi. Bahkan ada alumni sukses yang bisa dijadikan panutan.
Kalau ada yang tersinggung, ya mohon maaf. Ini cuma satire d saat muak lihat tarian koruptor. Atau, jangan-jangan ente merasa tersindir?
Catatan: Tips korupsi itu jangan dipakai ya, cukup bacaan nemankan ngopi saja.
#camanewak