FOTO : Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
ADALAH Giring Ganesha yang Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia itu mengakui bahwa komunikasi politik via baliho “Ojo Kesusu” yang dipasang oleh partainya di berbagai tempat adalah untuk mengingatkan bahwa, “Pilpres masih dua tahun lagi. Bukan tidak boleh bicara soal pencapresan, tapi alokasi energi dan waktunya harus proporsional.”
Tapi khan PSI sendiri punya program Rembuk Rakyat yang mengusulkan 9 nama bakal calon presiden juga, bagaimana itu?
Diakuinya memang, “Kami juga bicara Pilpres dengan ‘Rembuk Rakyat PSI’ tapi forum tersebut lebih untuk memberi kesempatan akar rumput bersuara dan mengenali para bakal calon,” ujar Giring.
Kita tahu semua bahwa ada beberapa Ketua Umum maupun tokoh Parpol yang jadi Menteri maupun Wakil Menteri, dan itu artinya jadi pembantu presiden. Ya prioritasnya semestinyalah membantu presiden dulu untuk membereskan persoalan bangsa. Bukan malah sibuk kesana-kemari, lobi-lobi politik yang menguras tenaga dan waktu. Sehingga konsekuensinya tupoksi (tugas pokok dan fungsi) utamanya sebagai pembantu presiden malah terbengkalai.
Bukankah saat ini pemerintah dan seluruh elemen bangsa lagi fokus menangani pandemi dan dampak yang ditimbulkan. Energi dan waktu dari para elite politik juga selayaknya lebih banyak ditumpahkan untuk memitigasi dampak pandemi itu daripada kasak-kusuk soal pencapresan. Betul juga sih.
Maka kita, sebagai rakyat sang pemilik mandat, seyogianya juga ikut mendorong proses seleksi kandidat pemimpin nasional ini melewati prosedur yang sehat.
Betul bahwa parpol (yang ada di DPR) adalah pranata yang berhak mengusulkan calon presiden, namun segi lain yang tak kalah penting adalah rakyat juga mesti pandai dan bijaksana dalam menyeleksi figur-figur yang layak untuk dicapreskan.
Layak itu artinya punya rekam jejak yang baik. Baik itu artinya yang punya komitmen terhadap pembangunan bangsa Indonesia yang bhinneka ini seutuhnya. Tidak punya rekam jejak intoleran maupun mengakomodir kelompok-kelompok intoleran maupun membiarkan praktek bancakan anggaran sepanjang karir politiknya.
Maka bisa dimengerti kalau Grace Natalie (Wakil Ketua Dewan Pembina PSI) baru-baru ini tegas dan jelas menyatakan tidak akan mendukung Anies Baswedan untuk maju sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 2024. Alasannya ia tak bisa mendukung kandidat yang bermasalah dalam hal intoleransi dan korupsi.
Sekaligus dengan begitu Grace Natalie menepis hoaks yang disebarkan sementara pihak yang memunculkan spanduk deklarasi Anies Baswedan dan Grace Natalie sebagai pasangan di Pilpres 2024. Foto hoaks tersebut memang sempat beredar luas di media sosial.
Proses menyeleksi nama-nama kandidat capres itu mungkin lebih bermanfaat bagi kita, ketimbang menghabiskan energi bangsa untuk ikut-ikutan “merayakan” berbagai lobi-lobi, kasak-kusuk atau istilah kerennya: negosiasi-koalisi parpol, yang kita tahu ujungnya cuma ‘who gets what for how much’ alias ‘wani piro?’.
Proses seleksi kandidat capres itulah yang lebih memiliki bobot bagi masa depan kita sebagai bangsa. Sekaligus rakyat juga bisa menilai parpol mana (yang ada di parlemen maupun yang belum punya kursi di DPR-RI tapi bakal lolos verifikasi faktual serta bakal ikut dalam kontestasi pileg nanti) yang lebih peduli (concern) dengan proses seleksi kandidat capres ini.
Seleksi kandidat capres ini semestinyalah dilakukan secara terbuka (transparan) dan melibatkan akar rumput, alias rakyat semua tanpa tebang pilih. Wacana (diskursus) publik tentang nama-nama kandidat capres bakal memberi kesempatan seluasnya kepada kita semua untuk membedah profil orang-orangnya. Semua rekam jejak, visi dan programnya mesti jadi perbincangan publik yang sehat. Rakyat tak boleh lagi membeli kucing dalam karung!
Ini pendidikan politik yang bagus, untuk membiasakan diri memilih calon pemimpin berdasarkan kriteria yang rasional. Bukan berlandaskan fanatisme buta serta kampanye kebohongan yang terasa manis di permukaan, namun esensinya adalah racun.
Untuk itu memanglah kita semua tidak boleh terburu-buru, grasa-grusu alias tidak sabaran. Itu bisa bikin kita malah tidak cermat dan bijaksana dalam memilih.
Maka, ojo kesusu!
Penulis : Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.