Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
KORUPSI 300 triliun rasanya masih hangat. Kali ini muncul baru lagi korupsi senilai 193,7 triliun. Ada benarnya, negeri ini sudah dikuasai koruptor.
Selangkah lagi korupsi menjadi kearifan lokal. Sambil menikmati kopi tanpa gula di Satuwatt Jalan Martadinata Pontianak, yok kita bahas para pengkhianat rakyat.
Bayangkan, wak! Rp193,7 triliun. Bukan harga tiket ke bulan. Bukan ongkos beli pulau pribadi. Tapi kerugian negara dari kasus korupsi minyak mentah dan produk kilang di Pertamina.
Angka ini begitu besar, hingga jika dibagi rata, setiap warga Indonesia bisa dapat Rp7 juta. Cukup untuk beli gorengan seumur hidup. Atau bayar utang cicilan motor. Tapi uang itu lenyap. Menguap. Hilang bak asap knalpot di jalanan Jakarta.
Aturannya jelas. Prioritaskan minyak dalam negeri. Jangan impor dulu kalau lokal masih ada. Tapi apa daya. Aturan hanya secarik kertas. RS, SDS, dan AP, nama-nama yang terdengar seperti kode rahasia agen mata-mata, mengondisikan rapat optimalisasi hilir.
Hasilnya? Produksi kilang diturunkan. Minyak lokal “tidak sesuai spesifikasi.” Lalu, solusinya? Impor! Tentu saja dengan harga selangit. Seolah-olah minyak impor adalah cairan ajaib dari planet lain.
Di sini, broker-broker beraksi bak bintang film laga. MKAR, anak saudagar minyak legendaris Reza Chalid, menjadi salah satu tersangka. Bersama enam orang lainnya, mereka menciptakan simfoni korupsi yang megah.
DW dan GRJ bahkan berkomunikasi langsung untuk mendapatkan harga tinggi meski syarat belum terpenuhi. Ini bukan sekadar transaksi. Ini seni manipulasi tingkat dewa.
Akibat ulah mereka, harga indeks pasar BBM melonjak. Kompensasi dan subsidi membengkak. APBN pun menangis darah. Uang 193,7 triliun digunakan untuk memperkaya segelintir orang. Sementara rakyat harus puas dengan BBM mahal. Ini bukan lagi korupsi. Ini perampokan skala nasional.
Janji Prabowo memberantas korupsi “sampai ke akar-akarnya” mulai terdengar nyata. Tapi apakah ini pertanda baik? Atau justru pertanda bahwa korupsi sudah sedemikian sistematis sehingga sulit dibendung? Entahlah. Yang pasti, ketika korupsi dijadikan seni, kita semua harus bertanya, apakah ini tragedi, atau komedi?
Duit 193,7 triliun. Angka ini lebih besar dari anggaran pendidikan. Lebih besar dari anggaran kesehatan. Bahkan mungkin cukup untuk membiayai eksplorasi luar angkasa. Ini baru perkiraan sementara. Mungkin nanti akan ada revisi Rp200 triliun, Rp300 triliun, atau cukup untuk membeli negara tetangga.
Sementara itu, Prabowo mungkin sedang tertawa geli. Baginya, ini mungkin kemenangan. Tapi bagi rakyat, ini pengingat bahwa perjuangan melawan korupsi masih panjang. Sangat panjang.
Mungkin tidak ada ujungnya. Karena, korupsi sudah mendarah daging. Korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini. Kadang malah bahas korupsi, karena bikin muak.
Tapi, kalau tak disuarakan, makin menjadi-jadi. Serba salah, lebih baik menyaksikan Red Sparks vs GS Caltex, esok.
#camanewak