PDIP dan Gerindra Adu Mekanik


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

POLITIK Indonesia lagi-lagi bikin kepala pening, hati panas, tapi mulut tertawa getir.

Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen jadi ajang saling tunjuk antara Gerindra dan PDIP.

Gerindra dengan lantang menuduh, “Ini usulan PDIP! Mereka yang bikin, kok sekarang nolak?” PDIP langsung balas, “Lho, itu kan inisiatif pemerintah Jokowi, kalian juga ikut ketok palu waktu itu!”

Begitulah, panggung politik berubah jadi sirkus. Tapi sayangnya, yang jadi badut bukan cuma satu pihak, semua terlibat.

Dolfie Othniel, kader PDIP sekaligus Ketua Panja UU HPP, tampil membela diri. Dengan gaya tenang tapi menyindir, dia bilang, “UU ini inisiatif pemerintah Jokowi.

Waktu itu, delapan fraksi setuju, termasuk Gerindra. PKS aja yang nolak. Jadi jangan pura-pura lupa.”

Lucu ya, yang dulu sepakat, sekarang berlomba-lomba jadi pahlawan rakyat. Padahal, waktu palu diketok tahun 2021, semua tersenyum puas. Sekarang pura-pura jadi korban. Ini politik atau lomba akting?

Sementara itu, Gerindra sibuk memanaskan suasana. Mereka menuduh PDIP sebagai biang kerok kenaikan pajak ini. “Yang usul siapa, kok sekarang pura-pura nggak tahu?” seru mereka.

Tapi mereka lupa, kalau mau tuduh PDIP, mereka juga harus bercermin. Fraksi Gerindra kan waktu itu juga setuju. Ini seperti marah sama hujan, padahal ikut nyumbang awan.

Di tengah drama elit, mahasiswa yang udah lelah bayar kos dan jajan mi instan mulai geram. BEM SI dengan nada keras memperingatkan, “Kalau PPN naik, daya beli masyarakat bakal anjlok. Kita nggak segan turun ke jalan!”

Tapi tunggu, siapa yang peduli? Para politisi sibuk debat di televisi, lempar statement kayak main voli. Sementara rakyat yang betul-betul terdampak hanya bisa diam.

Mau teriak pun percuma, karena volume mikrofon politik terlalu keras.

Ini bukan pertama kalinya rakyat cuma jadi penonton drama politik. Setiap kali ada kebijakan yang jelas-jelas menekan hidup mereka, politisi malah asyik saling menyalahkan. Bukannya fokus cari solusi, mereka sibuk rebutan panggung.

Yang bikin miris, semua ini dilakukan dengan wajahserius, seolah mereka benar-benar peduli. Padahal, kalau boleh jujur, lebih cocok masuk acara stand-up comedy daripada rapat paripurna.

Rakyat kecil cuma bisa pasrah. Sambil makan nasi dengan lauk doa, mereka menyaksikan elit terus berdebat. Tapi satu hal yang pasti, meskipun perut lapar, rakyat masih punya hak untuk marah.

Wahai para politisi, silakan teruskan drama kalian. Tapi ingat, rakyat bukan cuma penonton, mereka juga pengamat yang nggak lupa.

Kalau mereka akhirnya turun ke jalan, siapa yang mau kalian salahkan nanti?

#camanewak


Like it? Share with your friends!