FOTO : Petugas kepolisian sedang menunjukan tempat kejadian perkara (TKP) pad lahan yang merenggut nyawa korban [ ist ]
redaksi – RADARKALBAR.COM
SANGGAU – Senin (21/7/2025) siang itu, langit di Dusun Entibuh, Desa Engkode, Kecamatan Mukok, tidak menunjukkan tanda bahaya.
Matahari bersinar terik, seperti biasa di puncak musim kemarau. Tapi siapa sangka, di balik panas yang menyengat itu, sebuah tragedi akan merenggut nyawa seorang kakek yang hanya berniat membersihkan kebun sawitnya.
Namanya Paulus Apon. Usianya sudah 75 tahun. Rambutnya mungkin sudah memutih, tapi semangatnya belum pudar.
Di usia yang sepuh, ia tetap turun ke kebun mengayunkan langkah pelan menyusuri semak ilalang, mengangkat alat semprot di punggungnya, dan berusaha menjaga agar kebunnya tetap bersih, produktif, dan tak tertutup gulma.
Namun siang itu berubah menjadi petaka. Pasalnya, dengan cara lama yang masih dipercaya sebagian masyarakat pedesaan, Paulus memilih membakar rumput yang telah disemprot sebelumnya.
Sekitar 0,15 hektare luas lahan itu. Tapi api, seperti memiliki kehendaknya sendiri, tiba-tiba menjalar cepat ke lahan tetangga yang juga telah kering dan siap terbakar.
Paulus mencoba melawan. Ia semprotkan air dari alat yang dibawanya, berusaha mencegah api meluas.
Tapi tubuh renta itu kehabisan tenaga. Nafasnya tersengal, napas pendeknya kalah cepat dari jilatan api yang melompat, mengurungnya, dan dalam sekejap membakar seluruh tubuhnya.
Ia ditemukan tak bernyawa di atas tanah hitam dan hangus, di kebun milik tetangganya, Toberius Miking.
Tanah tempat ia berpijak setiap hari, kini menjadi saksi bisu perlawanan terakhir seorang petani tua terhadap api.
Kapolsek Mukok, AKP Sutono, dalam keterangan resminya menyampaikan duka mendalam atas peristiwa ini.
“Atas nama Polres Sanggau, kami menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban. Kami juga mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam melakukan pembakaran lahan,” ungkapnya.
“Pastikan kondisi aman dan tidak membahayakan diri sendiri maupun lingkungan,” pintanya.
Polisi dan aparat desa segera turun ke lokasi, tidak hanya untuk memeriksa tempat kejadian, tetapi juga memberikan pendampingan dan dukungan moral kepada keluarga korban.
Pihak keluarga menerima kepergian Paulus sebagai musibah. Tidak ada otopsi. Tidak ada tuntutan. Hanya keheningan dan air mata yang tersisa.
Tragedi ini bukan sekadar catatan kematian akibat kebakaran lahan. Ini adalah pengingat keras metode lama di tengah iklim yang berubah bisa menjadi sangat mematikan.
Terlebih, ketika tubuh tak lagi sekuat dulu, dan musim kemarau menjadi ladang pemantik tak terduga.
Di ujung senjanya, Paulus Apon hanya ingin menjaga ladangnya tetap bersih. Tapi niat sederhana itu dibalas dengan kobaran yang mengakhiri hidupnya.
Kini, di tengah hamparan tanah yang menghitam, angin kemarau kembali berembus. Membawa bisikan duka dari seorang petani tua yang telah pergi, menyisakan pelajaran, bahwasa api bukanlah kawan yang mudah dikendalikan. [ red ]
Source : Humas Polres Sanggau
Editor/publisher : admin radarkalbar.com