Kasihan PDIP, Sendirian


Oleh : Rosadi Jamani [Dosen UNU Kalbar]

JAKARTA, ibukota negara selalu menjadi panggung utama perpolitikan Indonesia. Kini berada dalam bayang-bayang ketidakpastian.

PDIP, partai yang begitu akrab dengan denyut nadi politik Jakarta, tampak tersudut dalam sudut sepi yang asing.

Di tengah hingar-bingar deklarasi dukungan seluruh partai politik terhadap pasangan Ridwan Kamil dan Suswono, hanya PDIP yang kini berjalan sendirian, tanpa teman, tanpa sekutu.

Adian Napitupulu, Wakil Sekretaris Jenderal sekaligus Ketua Tim Pemenangan Pilkada PDI-P, menyuarakan keprihatinannya.

Dengan suara yang terdengar penuh nelangsa, Adian berkata, “PDI Perjuangan is not for sale,” tegasnya. Ia seolah menegaskan bahwa partai ini, meski terpencil dalam keramaian, masih memegang teguh prinsip yang mereka yakini.

Namun, di balik ketegasan itu, tersimpan kesedihan yang dalam, kesedihan karena mereka tidak bisa berbuat banyak untuk melawan arus besar yang mengisolasi dari panggung perpolitikan Jakarta.

Deklarasi ini, menurut Adian, adalah bukti nyata bahwa PDIP tidak bisa “dijual”. Banteng moncong putih tidak mau terjebak dalam praktik politik yang mengorbankan integritas.

Namun, kenyataan pahitnya adalah, meski tidak dijual, PDIP juga tidak dibeli, dibiarkan berdiri sendiri di luar lingkaran kekuasaan yang semakin erat mengepung Jakarta.

Di tengah situasi ini, Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menyuarakan kekhawatiran yang lebih dalam. Jumlah kursi PDIP di DPRD Jakarta yang tidak mencukupi untuk mengajukan calon gubernur.

Ini menjadi ironi yang menyakitkan. Parpol lainnya sudah “terjual”, menyisakan PDIP dalam kesepian politik yang menyesakkan.

Djarot mengakui dengan getir, angkah-langkah ini mungkin adalah upaya terakhir untuk meminggirkan PDIP. Ini membuat mereka tidak mampu mencalonkan tokoh lainnya di Jakarta.

“Deklarasi itu kita bisa melihat bagaimana nantinya kalau itu terjadi maka PDIP secara otomatis tidak bisa mencalonkan,” kata Djarot, menegaskan bahwa mereka kini terjebak dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan.

Dalam kebuntuan ini, dua kemungkinan pahit tampak di depan mata: Ridwan Kamil melawan kotak kosong, atau melawan “calon boneka” dari jalur independen.

Kemungkinan pertama adalah sebuah kekalahan tanpa lawan. Sementara kemungkinan kedua adalah sebuah pertarungan yang sudah diatur, tanpa keadilan.

Kesepian yang dirasakan partai merah ini bukan hanya kesepian karena kehilangan sekutu, tetapi juga kesepian karena kehilangan kepercayaan. KTP-KTP yang dibegal, suara rakyat yang dicatut, semuanya adalah tanda-tanda bahwa demokrasi di Jakarta sedang dipermainkan.

Djarot berjanji bahwa PDIP akan melawan upaya-upaya ini. Namun, siapa yang bisa memastikan bahwa perlawanan mereka akan berhasil?

Jakarta, kota yang menjadi percontohan perpolitikan nasional, kini berada di persimpangan yang gelap.

Tanpa pilihan yang sehat, tanpa kontestasi yang adil, Jakarta mungkin akan terjerumus dalam masa depan yang suram.

Dan PDIP, meski tetap berdiri dengan kepala tegak, mungkin akan menjadi saksi bisu dari semua ini, ya sendirian dalam kesepian yang semakin dalam.

#camanewak


Like it? Share with your friends!