Oleh : Wina Armada Sukardi, advokat dan pakar hukum pers.
*D. Kebudayaan Batak*
Secara geografis di Propinsi Sumatera Utara, suku Batak terdiri dari 5 etnis besar, yaitu Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing (Angkola), dan Batak Pakpak (Dairi). Suku-suku besar Batak tersebut menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda baik substansi bahasanya maupun logatnya.
Pada intinya dalam kehidupan sehari-harinya, pemakaian bahasa dapat dibagi sebagai berikut: bahasa Karo, dipakai oleh orang Karo. Bahasa Pakpak, dipakai oleh Pakpak.Lalu bahasa Simalungun, dipakai oleh Simalungun dan bahasa Toba, dipakai oleh orang Toba, Angkola, dan Mandailing. Oleh lantaran itu masing-masing suku besar tidak saling memahami bahasa-bahasa lain suku.
Salah satu kebudayaan Batak yang terkenal antara lain “dalihan natolu.”
Secara sederhana dalihan natolu artinya tungku tempat memasak yang diletakkan di atas tiga batu. Agar tungku tersebut dapat berdiri dengan baik, maka ketiga batu sebagai penopang haruslah berjarak seimbang satu sama lain dan tingginya juga harus sama. Falsafat itulah yang diterapkan di budaya suku Batak. Kehidupan dan penghidupan harus ditopang bersama secara adil.
Ada tiga bagian kekerabatan dalam “dalihan natolu.” Pertama, _somba marhulahula_ atawa sembah/hormat kepada keluarga pihak istri kedua, _elek marboru_ atawa sikap membujuk/mengayomi wanita. Dan ketiga _manat mardongan tubu_ atau bersikap hati-hati kepada teman semarga.
Suku Batak memiliki beberapa budaya yang menonjol. Salah satu yang paling menonjol suku Batak memiliki sistem kekerabatan yang kuat. Kebudayaan suku Batak yang juga mencolok _uhum _ dan _ugari_ yang maknanya hukum wajib ditaati oleh semua. Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, tujuan _uhum_ dan _ugari_ adalah agar semua orang bisa merasakan keadilan dalam semua aspeknya.
Nilai-nilai keadilan ini diwujudkan melalui sebuah komitmen dalam melakukan kebiasaan (ugari) serta kesetiaan pada janji. Dan ketika komitmen ini dilanggar oleh seorang dari suku Batak, pastinya akan dijatuhi hukum adat dan dianggap sebagai orang tercela. Makanya _uhum_ dan _ugari _ dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh para masyarakat suku Batak.
Lalu ada pula budaya -hamoraon, hagabeon_ dan _hasangapon._ Istilah-istilah itu dapat diterjemahkan secara harafiah, _hamoraon_ adalah kekayaan, _hagabeon_ adalah memiliki banyak keturunan, dan _hasangapaon_ artinya terhormat atau mulia. Bagi suku Batak memenuhi ketiga hal tersebut, yaitu menjadi mapan, memiliki banyak keturunan (tentu dari garis keturunan bapak) dan terpandang secara sosial. Anak yang dimaksud di sini adalah anak laki-laki yang dianggap akan meneruskan keturunan dan marga orang tuanya.
*E. Musyawarah*
Salah satu yang terpenting dalam kebudayaan suku Batak dan berpengaruh besar dalam penciptaan lahirnya para advokat di kemudian zaman, tak lain kebudayaan suku Batak dalam mengambil keputusan selalu melalui musyawarah. Dalam penelusuran antropologis, pada kebudayaan suku Batak hanpir tidak ada satu aspek kehidupan pun yang diputuskan tanpa proses musywarah.
Pada proses musyawarah ini terjadi adu argumentasi yang pelik. Dalam adu pendapat itu terjadilah tarik ulur antara para pihak secara terbuka.
Rupanya dalam musyawarah ini dibutuhkan skill, teknik dan pendekatan para pihak. Kepiawaian bernegosiasi inilah yang kemudian juga terbawa dalam kehidupan sehari-hari suku Batak, terutama dalam profesi advokat.
*F. Rumah Tahaban *
Dari penelusuran antropologis, susunan lingkungan kerajaan memberikan jejak adanya sistem yang memungkinkan keadvokatan berkembang .
Meskipun ada variannya, tetapi terdapat pola yang sama di antara lingkungan kerajaan.-kerajaan di Sumatera Utara. Pertama-tama, hampir semua kerajaan suku Batak memiliki tata ruang dan susunan rumah yang sama. Kerajaan -kerajaan suku Batak memiliki rumah adat bernama Rumah Bolon. Rumah ini artinya rumah besar, karena ukurannya memang besar. Rumah Bolon umumnya memiliki panjang antara 10-20 meter dan atapnya berbentuk segitiga.
Rumah adat ini adalah simbol status sosial masyarakat Batak yang tinggal. Rumah Bolon berbentuk panggung, didirikan di atas tiang kayu atau balok kayu sebagai penyangga. Dindingnya terbuat dari kayu dan berbentuk miring, yang ukurannya semakin ke atas akan dibuat semakin lebar.
Pada dinding bagian atas juga terdapat ukiran khas Sumatera Utara. Jabu bolon memiliki pintu masuk. yang rendah. Ini bukan lantaran orang Suku Batak rata-rata bertubuh pendek.
Filosofi pintu pendek ini tujuannya agar pengunjung yang datang ke rumah memasuki rumah dengan cara menunduk, sebagai bentuk rasa hormatnya kepada tuan rumah. Bagi Suku Batak masuk ke rumah kerabat lainnya harus dengan hormat. Sikap tidak hormat dan dinilai sebagai penghinaan dan dapat menimbulkan disharmoni.
Di bawahnya terdapat kolong setinggi sekitar dua meter yang digunakan untuk memelihara hewan ternak.
Bentuk bangunan yang hampir semua mempunyai ruang bawah, ternyata juga ada kaitannya dengan sistem hukum yang berlaku di kerajaan- kerajaan Batak.
Kenapa? Para tahanan yang dianggap sebagaimana manusia hina, ditempatkan di kolong rumah, sama dengan tempat binatang piaraan. Ini sebuah simbol, bahwa para tahanan nilainya sama dengan hewan piaraan. Dengan kata lain, mereka sudah hampir tidak ada lagi nilai kemanusiaan.
Kendati demikian, mereka tidak bakal langsung dieksekusi. Oleh sebab itu dalam tata ruang kerajaan memiliki pembagian ruangan yang terkait dengan proses peradilan. Disinilah kita mulai melihat ada tradisi yang memberikan pengaruh kepada profesi advokat dari suku Batak.
Bersambung….