FOTO : Benz Jono Hartono [ ist ]
“Antara Ilusi Kesejahteraan dan Realitas Politik Uang “
Oleh : Benz Jono Hartono [ Praktisi Media Massa dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat ]
*Sinopsis*
Dalam panggung besar bernama “Kabinet Ekonomi Indonesia”, kita seolah sedang menonton drama megah dengan skenario absurd yang ditulis entah oleh siapa. Pemeran utamanya adalah para pejabat ekonomi negara: mereka berbicara tentang pertumbuhan inklusif, stabilitas makro, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Namun di balik narasi heroik itu, ada aroma tajam dari permainan antagonis di mana yang tampak malaikat di depan kamera, ternyata memegang pisau di balik layar.
*Scene 1: Retorika Sebagai Narkotika
Setiap kali rakyat menjerit karena harga pangan naik, pemerintah muncul dengan kalimat yang menenangkan seperti lullaby: “Situasi ini hanya sementara”, “Inflasi terkendali”, “Subsidi akan tepat sasaran”.
Kalimat-kalimat itu seperti candu—membius logika publik agar percaya bahwa penderitaan adalah bagian dari proses menuju kemakmuran.
Namun faktanya, kemakmuran itu hanya mampir di meja rapat korporasi dan konglomerat yang menempel pada jantung kekuasaan.
Sementara rakyat kecil terus berjibaku di pasar tradisional, menukar keringat dengan utang dan harapan kosong.
*Scene 2: Ekonomi Sebagai Drama Kekuasaan
Kabinet ekonomi hari ini bukan sekadar kumpulan teknokrat; mereka adalah aktor politik yang bermain di medan kuasa, bukan di laboratorium ide. Di depan rakyat, mereka bicara visi ekonomi kerakyatan.
Tapi di belakang, mereka menandatangani kesepakatan yang memperkuat dominasi pasar bebas, menyerahkan urat nadi ekonomi nasional kepada investor asing, dan menundukkan kebijakan fiskal di bawah tekanan global.
Seolah-olah, Indonesia adalah panggung sandiwara neoliberal, di mana setiap menteri ekonomi hanya berperan sesuai naskah yang ditulis oleh lembaga donor internasional.
Ada yang berperan sebagai “reformis”, ada yang menjadi “pahlawan rakyat”, dan ada pula yang menjadi “penyelamat fiskal”. Tetapi semuanya tunduk pada satu sutradara besar: kepentingan modal.
Scene 3: Antagonis yang Menyamar
Ironisnya, antagonis dalam drama ini bukan mereka yang menolak pembangunan, tapi justru mereka yang mengaku membangun untuk rakyat.
Mereka menebar program populis, memberi ilusi bantuan langsung, membagi-bagi stimulus, tapi di balik itu mengunci rakyat dalam ketergantungan struktural terhadap negara.
Antagonisme mereka halus, seperti racun yang dibungkus madu. Mereka tidak menghancurkan ekonomi rakyat secara langsung, tetapi menciptakan sistem yang membuat rakyat tidak bisa hidup tanpa belas kasihan mereka.
*Scene 4: _Politik Ilusi dan Bayangan Krisis
Setiap pernyataan ekonomi kini berubah menjadi teater retorika. Rakyat diajak menatap statistik yang disajikan seolah menggembirakan—angka pertumbuhan, stabilitas rupiah, cadangan devisa padahal di lapangan, daya beli menurun, pengangguran terselubung meningkat, dan produktivitas pertanian tergerus impor.
Krisis yang nyata disulap menjadi ilusi optimisme. Dan di sinilah antagonisme mencapai puncaknya: ketika kebohongan disulap menjadi kebijakan, dan kebijakan disembunyikan dalam bahasa teknokratis agar rakyat tidak sempat bertanya.
*Epilog:*
Saat Rakyat Menjadi Penonton Setia
Rakyat kini hanya menjadi penonton setia drama yang diputar terus-menerus. Mereka menonton sambil berharap ada “aktor baru” yang benar-benar berpihak pada mereka.
Namun dalam sistem yang telah lama dikooptasi modal dan oligarki politik, pemeran boleh berganti, tetapi naskah tetap sama.
Satu-satunya harapan tersisa adalah kesadaran: bahwa drama ini tidak akan berakhir bila rakyat terus berperan sebagai penonton. Mereka harus menulis ulang naskah, merebut panggung, dan mengubah cerita—agar antagonis tidak lagi memimpin ekonomi bangsa ini dari balik layar kekuasaan.