FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
CERITA utang itu ngeri, wak! Di dunia dikejar debt collector, di akhirat, jadi penghalang masuk surga. Di tengah malam yang sunyi ini, kita kupas APBN yang akan dijadikan alat bayar utang.
Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula.
Bogor (10/10/2025), udara dingin tapi suasananya panas. Di tengah para jurnalis yang sibuk menyiapkan pertanyaan soal utang dan defisit, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berdiri tegak seperti jenderal yang baru sadar tentaranya sudah banyak ngutang di koperasi.
Dengan tenang tapi tajam, ia melempar pernyataan yang bikin banyak orang tersedak kopi, “APBN tidak akan digunakan untuk menanggung utang proyek Kereta Cepat Whoosh!”
Seisi ruangan mendadak sunyi. Pernyataan itu bukan sekadar kalimat fiskal, tapi seperti pengumuman akhir zaman bagi mereka yang terbiasa hidup dari “bantuan pemerintah”.
Purbaya menatap kamera, lalu menambah bumbu dramanya, “KCIC itu di bawah Danantara. Mereka punya manajemen sendiri, punya dividen sendiri, rata-rata Rp80 triliun per tahun. Kelola dari situ, jangan minta ke pemerintah lagi.”
Tepuk tangan membahana dalam hati rakyat yang sudah lama curiga, jangan-jangan APBN kita ini bukan anggaran pendapatan, tapi anggaran penanggungan. Purbaya tampil seperti filsuf fiskal di tengah pesta utang, mengajarkan arti kata “tanggung jawab” di era ketika semua orang ingin jadi proyek, tapi tak mau jadi pelunasan.
Sementara itu, proyek Whoosh yang membanggakan, kereta cepat Jakarta–Bandung dengan utang Rp116 triliun, tiba-tiba terlihat seperti drama sinetron mahal tapi ratingnya jeblok. Wacana untuk pakai APBN menutup utang sempat muncul seperti mantan yang minta balikan, tapi Purbaya tegas, “Jangan kalau untung dinikmati swasta, kalau rugi ditanggung pemerintah.”
Kata-kata itu layak dipahat di dinding Kementerian Keuangan, mungkin juga di hati para direksi BUMN yang hobinya proyek-proyek ambisius tapi lupa laporan laba.
Danantara, superholding sakti yang memayungi PT KAI dan banyak perusahaan pelat merah, sekarang jadi sorotan. Katanya punya dividen Rp80 triliun per tahun, tapi rakyat tahu, kadang angka-angka itu lebih banyak muncul di PowerPoint dari di kas negara. Namun Purbaya tetap yakin. Biarlah Danantara menanggung dosa Whoosh, jangan rakyat lagi.
Di sisi lain, di Senayan, Komisi V DPR juga sedang menyalakan lilin moral. Mereka menolak penggunaan APBN untuk membangun ulang Ponpes Al-Khoziny di Sidoarjo yang roboh 29 September lalu, menewaskan puluhan santri.
Menteri PUPR sempat bilang akan pakai dana APBN, tapi Ketua Komisi V, Lasarus, langsung menahan, “Investigasi dulu. Jangan semua yang roboh, negara yang bayar.” Kalimat itu menusuk, karena kalau proyek gagal, negara cepat menalangi, tapi kalau korban rakyat kecil, negara minta audit dulu. Mungkin itu makna sejati dari keadilan fiskal yang… selektif.
Sementara rakyat sibuk memikirkan pajak, negara tetap punya hiburan. Amanda Manopo resmi menikah dengan Kenny Austin. Ini bukti, cinta bisa menang melawan inflasi. Di istana, Prabowo mencopot Kepala Bapanas Arief Prasetyo.
Ini menandakan, di dunia pangan, ketegasan tak bisa ditunda. Di stadion, jelang laga panas Timnas vs Irak, rakyat menyiapkan diri, bukan hanya menonton bola, tapi juga melupakan sejenak kenyataan, utang negara sudah mencapai Rp9.138,05 triliun, setara 39,86% dari PDB.
Namun jangan khawatir, wak! Kata pemerintah, bukan kata saya ya, semua masih aman. Sama seperti orang yang berkata “aku masih bisa bayar cicilan” sambil membuka pinjaman baru. Sebab di negeri ini, kecepatan bukan cuma milik Whoosh, tapi juga milik utang yang terus melesat tanpa menoleh ke belakang.
Ketika rakyat bertanya ke mana uang itu pergi, jawabannya sederhana, sebagian ke proyek, sebagian ke bunga, sebagian lagi mungkin sedang nonton bola, sambil berdoa Purbaya tetap waras menjaga kas negara yang kian kurus tapi masih nekat bermimpi jadi superpower fiskal.
#camanewak