Oleh : Benz Jono Hartono [ Praktisi Media Massa di Jakarta ]
*Preambule*
INDONESIA katanya berdiri di atas fondasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi dalam praktiknya, sila pertama itu sekarang lebih cocok dijadikan wallpaper ruang sidang atau kutipan Instagram pejabat saat Lebaran. Isinya? Kosong. Praktiknya? Nol besar.
*Ketuhanan Jadi Formalitas*
Para elite rajin mengucap “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa” setiap kali tanda tangan proyek triliunan, tapi lupa kalau Tuhan tidak pernah menitipkan proyek pada kantong pribadi. Doa khusyuk di podium berubah jadi modus operandi untuk menutupi kebijakan yang menindas rakyat.
*Ekonomi Oligarki Naik Jet, Rakyat Numpang Angkot*
Jurang ekonomi makin lebar. Yang kaya makin pamer harta di mall mewah, yang miskin antre sembako basi. Oligarki tersenyum sambil menguasai tambang, sawit, dan infrastruktur, sementara buruh yang bekerja siang malam hanya dapat gaji pas-pasan.
Negeri yang katanya “beriman” ini lebih percaya pada “dewa pasar” ketimbang pada Tuhan.
*Penindasan Jadi Sistematis*
Ngomong jujur bisa dipolisikan, kritik dianggap makar, demo dipukul habis-habisan. Negara yang katanya berketuhanan malah lebih mirip perusahaan keamanan swasta, tugas utamanya melindungi bos-bos kaya dari amukan rakyat. Aparat sering kali jadi satpam oligarki, bukan pelindung rakyat.
*Demo Anarkis Doa Rakyat yang Tak Didengar*
Ketika rakyat sudah buntu, jalan satu-satunya ya teriak di jalanan. Awalnya damai, lama-lama rusuh. Bakar ban, lempar batu, hancurkan fasilitas umum itu bukan sekadar tindakan anarkis, tapi doa putus asa yang dikirim dengan cara kasar karena doa halus sudah lama diabaikan.
*Penutup*
Kalau bangsa ini mau waras, ya harus balik ke sila pertama. Tapi bukan sila pertama yang dihafalkan anak SD lalu dilupakan, melainkan Ketuhanan yang dijalankan, pejabat takut dosa, pengusaha ingat zakat, rakyat percaya bahwa keadilan bisa ditegakkan.
Tanpa itu, negeri ini akan terus jadi kombinasi absurd antara “surga oligarki” dan “neraka rakyat kecil”.