Jakarta, radar-kalbar.com – Guna untuk menampung aspirasi stakeholder kelautan dan perikanan, Kamis (7/11), Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo beraudiensi dengan Asosiasi Koral, Kerang, dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta.
Menteri Edhy menyebut, audiensi tersebut dilakukan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan terbaik terkait aturan perdagangan koral atau karang hias.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Edhy didampingi Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Sjarief Widjaja, dan Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Rina. Sementara dari pihak AKKII hadir Ketua Dewan Pembina AKKII Suharsono, Wakil Ketua Dewan Pembina AKKII Viva Yoga Mauladi, Ketua Umum AKKII Dirga Adhi Putra S., dan Sekretaris Jenderal AKKII Kelvin Brian Lee.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya KKP menghentikan penerbitan health certificate untuk ekspor karang hias berdasarkan regulasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada regulasi tersebut diatur, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menambang karang hias yang menimbulkan kerusakan ekosistem serta mengambil karang hias di kawasan konservasi.
Aturan lainnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Menteri Edhy menyebut, audiensi ini merupakan salah satu caranya untuk membangun komunikasi yang baik dengan stakeholder kelautan dan perikanan. Tak hanya AKKII yang pro terhadap perdagangan karang hias, pihaknya juga akan mendengar pandangan dari pihak yang menolak perdagangan karang hias.
Ketua Umum AKKII Dirga Adhi Putra S. dalam pemaparannya menyampaikan bahwa karang hias yang diperdagangkan berasal dari dua sumber yaitu alam dan hasil budidaya (transplantasi). Menurutnya, karang hias alam merupakan sumber daya terbarukan yang dapat dimanfaatkan. Ia berpendapat, pengambilan dengan prinsip lestari dapat membantu menjaga ekosistem.
Ia menambahkan, karang hias yang tumbuh terlalu padat dan tidak dipanen/dipangkas justru akan berhenti bertumbuh atau mati massal akibat terlalu padat (overcrowding).
“Karang hias alam ini memiliki nilai jual yang lebih tinggi karena eksotika warna dan bentuknya,” ungkapnya.
Menurut Dirga, kuota karang hias alam yang direkomendasikan oleh LIPI dan ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk tahun 2019 adalah 565.050 potong. Ia menyebut, jumlah ini hanya 0,0001% dari populasi karang hias di Indonesia. Kuota karang hias alam yang diberikan pun terus turun setiap tahun dari awalnya 824.550 potong di tahun 2008.
Adapun menurutnya, karang hias hasil budidaya dikembangkan dengan teknik yang ramah lingkungan dan tidak membebani ekosistem. Namun kelemahannya warna dan bentuk seragam.
“Semua eksportir karang hias juga diwajibkan melakukan budidaya karang hias. Selain itu, 10% dari hasil produksi dikembalikan ke alam untuk rehabilitasi,” jelasnya.
Ia menyebut, saat ini perdagangan karang hias sedang dalam masa transisi dari karang hias alam ke karang hias budidaya. Namun, tidak semua karang hias bisa dibudidayakan dengan mudah. “Maka dari itu, karang hias alam dan budidaya ini saling melengkapi dan menjadi kelebihan dan daya tarik khusus bagi eksportir karang hias Indonesia dibandingkan eksportir karang hias dari negara lainnya,” lanjutnya.
Ia juga berpandangan, pengambilan karang hias dilakukan dengan cara ramah lingkungan karena karang hias yang diambil diperlukan dalam kondisi hidup dan tidak terluka sedikit pun agar dapat dijual. Sebagian besar pengambilan hanya dilakukan dengan tangan, dipungut atau ditangkap.
Ia berpendapat, tahun 2013-2017, Indonesia merupakan pengekspor karang hias terbesar di dunia. Namun setelah adanya larangan ekspor karang hias, posisi pertama diisi oleh Australia.
“Untuk itu kami meminta agar pemerintah mengharmonisasi peraturan dan regulasi terkait karang hias untuk memberikan kepastian berusaha bagi eksportir karang hias di Indonesia. Kami berharap pelayanan health certificate yang diberikan Badan Karantina Ikan dapat dikeluarkan kembali untuk karang hias dan anemone,” pintanya.
Terkait permintaan tersebut, Menteri Edhy menekankan, pihaknya tegas bahwa pengambilan kerang hias di daerah konservasi dan daerah wisata tidak diperbolehkan sama sekali. Selain itu, dulu berdasarkan aturannya pengambilan di luar dua kawasan tersebut juga hanya boleh di lakukan di daerah yang tutupannya di atas 50%.
“Dulu ketika dilakukan groundcheck dan juga info dari LIPI ada yang mengambil di kawasan yang tutupannya di bawah 50%. Untuk itu hari ini kita bertemu untuk bicara dan menyelami masalah lebih detail agar ke depan ini harus ada solusi,” ujar Menteri Edhy.
Menteri Edhy menilai, perlu dicari solusi agar konservasi alam dan pemenuhan kebutuhan orang-orang yang menggantungkan hidup dari perdagangan karang hidup ini bisa diselaraskan. Untuk itu, ia menanyakan komitmen pedagang karang hidup terhadap kelestarian lingkungan melalui pemenuhan permintaan pasar dengan kegiatan budidaya.
“Apa benar semua yang diperdagangkan itu adalah karang-karang budidaya semua? Karang budidaya semua atau alam semua? Kalau memang itu campuran dua-duanya, harus dipastikan dulu berapa persen hasil budidaya dan berapa persen dari alam. Ini yang harus dikaji terlebih dahulu,” papar Menteri Edhy.
Selain itu Menteri Edhy berpendapat, jika perdagangan karang hias diizinkan kembali, pengawasan untuk memastikan bahwa karang hias tidak diambil di daerah konservasi juga merupakan PR besar. Termasuk pengawasan budidaya karang hias yang mungkin dapat digunakan sebagai modus berbuat curang.
“Saya harus mendengarkan masukan dari berbagai sisi. Bisa jadi ada kelompok yang tidak setuju perdagangan karang hias diizinkan, bisa jadi ada yang merasa dirugikan. Kami harus hati-hati. Persoalan karang hidup ini menjadi fokus saya dan akan segera saya selesaikan,” jelasnya.
Menteri Edhy juga meminta pelaku usaha kooperatif dengan mengikuti segala peraturan yang ada agar menciptakan solusi terbaik bagi seluruh pihak. Termasuk tidak mengelabui petugas dengan mengakui terumbu karang alam sebagai hasil budidaya.
Terkait hal ini, Ketua Dewan Pembina AKKII Suharsono mengungkapkan, karang hias alam dan budidaya dapat dibedakan dengan mudah. Menurutnya, karang hias hasil budidaya pasti menempel pada substrat artificial yang digunakan untuk membudidayakan. Karang budidaya juga diberikan label (tagging) yang mencakup informasi tentang nama jenis, kode perusahaan, dan bulan penanaman untuk ketertelusuran. Selain itu, karang budidaya biasanya berbentuk rapi dan bagus, sedangkan bentuk karang alam biasanya lebih tidak teratur.
Sementara itu, mengakhiri audiensi, Menteri Edhy mengatakan, semangat KKP mendorong perekonomian bangsa sangat tinggi. Akan tetapi, dalam merumuskan sesuatu yang menyangkut hajat bangsa dan orang banyak tak bisa dilakukan secara instan dan tergesa-gesa. “Kami butuh waktu untuk memikirkan, membahas, dan merumuskannya secara matang. Tapi mudah-mudahan tidak akan lama,” tutupnya.
Sumber : Lilly Aprilya Pregiwati
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri.