Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
KEPEMIMPINAN adalah panggung drama terbesar umat manusia. Ada yang tampil sebagai pahlawan, ada yang menjadi penjahat, dan ada juga seperti badut tanpa naskah, menghancurkan segalanya sambil tertawa.
Tapi beberapa pemimpin ini berhasil melampaui itu semua. Mereka bukan sekadar buruk, mereka adalah karya seni bencana. Dunia berutang kisah tragis, epik, dan, entah bagaimana, lucu, kepada mereka.
Sambil rebahan di sofa habis hiling-hiling minggu, yok kita telisik para pemimpin yang membuat kelam dunia. “Pemimpin kita ada ndak, Bang?” Sst…tenang, sabar, simak aja sambil ngopi.
Kita mulai dari Ferdinand Marcos, mantan Presiden Filipina. Beliau sudah lama almarhum. Bayangkan pemimpin yang mampu memadukan korupsi monumental dengan kemewahan fesyen.
Itulah ayah Bongbong Marcos. Dengan darurat militer, ia melipat hak asasi manusia seperti cucian kotor, sementara istrinya, Imelda, mengoleksi sepatu seolah dunia akan kiamat tanpa heels. Rakyat? Oh, mereka hanya dekorasi latar untuk kisah cinta Marcos dengan kekuasaan.
“Terus pemimpin kita, ada ndak, Bang?” Waduh, sabar, simak yang berikut ini, wak!
Mobutu Sese Seko, pemimpin Zaire. Mobutu tidak sekadar mencuri, ia menciptakan seni mencuri. Dengan mahkota kulit macan tutul dan dompet sebesar anggaran negara, ia memerintah Zaire seperti opera sabun.
Penuh drama, kebohongan, dan kemewahan kosong. Sementara rakyat berjuang hidup, Mobutu sibuk membangun istana lebih banyak dari hotel bintang lima.
Berikutnya, Pol Pot, sang arsitek Ladang Pembantaian (the killing field). Pol Pot adalah pria dengan mimpi besar, dan metode mengerikan.
Ia ingin masyarakat yang “murni”, jadi ia mengosongkan kota, menghapus sejarah, dan mengirim rakyatnya ke ladang. Bukan untuk panen, tapi untuk mati.
Ia membuktikan bahwa idealisme tanpa akal sehat adalah resep kiamat dalam skala nasional. Pemimpin yang membantai jutaan rakyat sendiri, Kamboja.
“Masih belum giliran pemimpin kita, Bang?” Sabar, wak. Ada saatnya nanti. Tenang, boh!
Lalu, Nicolae Ceaușescu. Rumania di bawah Ceaușescu seperti novel distopia karya amatir, suram, tidak masuk akal, dan tragis. Ia membangun “Istana Rakyat”, bangunan raksasa yang lebih cocok untuk pesta ego dari administrasi negara.
Sementara itu, rakyat kelaparan. Tapi, siapa peduli? Selama istananya punya lampu kristal terbesar di dunia.
Kemudian, Saparmurat Niyazov. Ia dikenal “Turkmenbashi”, memimpin Turkmenistan seperti seorang tiran dari novel satir.
Ia mengganti nama bulan dengan namanya sendiri, membangun patung emas berputar, dan melarang opera karena “tidak cukup Turkmenistan.” Jika ada kompetisi untuk pemimpin paling absurd, Niyazov mungkin akan menang sambil tertawa keras di podium emas.
“Lama benar, Bang. Pemimpin kita ada ndak, sih?” Tenang, benar lagi, wak. Tambah kopinya kalau habis.
Robert Mugabe, maestro hiperinflasi. Mugabe memiliki bakat luar biasa untuk menghancurkan nilai uang. Di bawah kepemimpinannya, Zimbabwe mencetak uang begitu banyak hingga nilainya menjadi nol secara literal.
Rakyat membawa kantong penuh uang untuk membeli roti, dan Mugabe? Ia tetap duduk di singgasana, tersenyum seperti tukang sulap yang baru saja menghilangkan harapan.
Ada Alberto Fujimori juga. Si Musang berkedok demokrasi. Fujimori memerintah Peru seperti dalang di balik layar panggung. Dengan janji manis dan tangan besi, ia menjinakkan oposisi dengan gaya yang lebih cocok untuk film mafia.
Demokrasi? Oh, itu cuma alat bagi Fujimori untuk memainkan permainan kekuasaannya. Hasilnya? Rakyat menangis, dan Fujimori tertawa.
Ini yang lagi ramai, Bashar al-Assad, seniman jehancuran sipil. Assad adalah bukti hidup bahwa warisan keluarga tidak selalu berkah.
Ia mengubah protes damai menjadi perang saudara, lalu menyaksikan negaranya runtuh sambil memoles citra di media internasional. Jika perang adalah seni, Assad adalah maestro yang menggelar simfoni kehancuran.
“Diakan lagi juara terkorup versi OCCRP. Terus pemimpin kita, bang?” Sabar, simak sampai habis, wak. Dikit lagi ni..
Sani Abacha si koruptor tanpa batas. Abacha memimpin Nigeria seperti raja bajak laut. Ia tidak sekadar mencuri, ia menguras kekayaan negara hingga nyaris tandas. Rakyat?
Mereka berjuang di bawah garis kemiskinan, sementara Abacha mungkin sedang menimbang berlian untuk menyesuaikan dengan warna mahkotanya.
Berikutnya, Omar al-Bashir, ahli genosida dan tirani total. Bashir tidak puas dengan sekadar menjadi diktator.
Ia ingin meninggalkan jejak di buku sejarah sebagai pelaku genosida. Darfur menjadi saksi bisu kekejamannya, di mana nyawa manusia lebih murah dari pasir gurun. Bashir adalah tragedi berjalan, dengan rakyatnya sebagai korban tetap.
“Udah habis, kan. Lantas gimana pemimpin kita, Bang?” Maaf wak. Saya terpaksa tak ceritakan. Ente pasti sudah tahukan. Buzzer yang ono ganas-ganas, wak.
“Ah, abang, bilang jak takut. Tahu gitu, tak pesan kopi dan rokok Surya lagi!” Merajok ya, qiqiqiq…
Para pemimpin ini adalah bukti bahwa kekuasaan adalah ujian tertinggi. Ada yang berhasil memimpin dengan bijaksana, dan ada yang seperti mereka, pencipta bencana berskala nasional.
Dunia mungkin lebih damai tanpa mereka. Tapi, entah bagaimana, kisah mereka tetap menjadi pengingat bahwa kadang sejarah adalah lelucon buruk yang ditulis dengan darah rakyat.
#camanewak