Beda Korup dan Korupsi


Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

MEMANG lagi ramai soal korup, terkorup, dan korupsi. Biang keroknya, OCCRP. Sambil menikmati kopi tanpa gula di meja dapur, yok kita bahas apa sih bedanya korup dan korupsi. Mirip, tapi beda.

Oke, mari kita bahas perbedaannya dengan gaya santai tapi tetap informatif, biar ente bisa nyengir sambil tetap paham.

Korup. Ini kata sifat. Kalau diibaratkan manusia, dia kayak “jiwa gelap” seseorang. Bahasa gaulnya, “udah busuk dari dalam”. Misalnya, kalau ada orang yang selalu mikir gimana caranya nyerempet aturan buat kepentingan pribadi, walaupun belum ketahuan atau belum ngelakuin apa-apa, kita bisa bilang dia punya jiwa yang korup.

Contoh simpel. Bayangin seorang teman bilang, “Eh, kalau kita bohongin guru biar nggak ada ujian gimana?” Nah, itu mindset-nya udah korup. Belum tentu dia beneran ngelakuin, tapi pikirannya udah mengarah ke situ.

Lalu, korupsi. Nah, kalau korupsi itu tindakan konkret. Ibaratnya, kalau korup itu niat, korupsi itu eksekusi. Dia udah masuk ke ranah hukum karena ada bukti nyata. Contohnya, ketika seseorang ngambil uang rakyat buat beli tas branded atau villa di Bali, itu korupsi. Ada barang bukti, ada saksi, dan (seharusnya) ada jeratan hukum.

Jadi apa bedanya, wak? Korup = potensi atau sifat. Masih di level “eh, orang ini busuk deh kayaknya.” Sementara korupsi = aksi nyata. Udah pasti, ada pelaku, korban, dan uang yang entah kemana.

Nah, sekarang masuk ke polemik Jokowi dinobatkan sebagai nominasi presiden terkorup oleh OCCRP. Kalau kita tarik ke pembahasan tadi, ini lebih mirip ke level “persepsi korupsi” alias kesan publik bahwa ada sesuatu yang busuk, tapi belum tentu ada tindakan nyata.

Organisasi kayak OCCRP ini kayak tukang survei opini. Mereka nggak masuk ruang sidang buat ngulik bukti transfer uang haram, tapi lebih nanya ke masyarakat, “Eh, menurut kamu, presiden ini jujur nggak sih?” Kalau mayoritas jawab, “Kayaknya enggak deh,” ya udah, muncul persepsi korupsi.

Ini mirip kayak survei kepuasan presiden. Misalnya ada yang bilang, “Saya puas banget,” atau, “Saya kecewa berat,” itu kan pendapat subjektif. Belum tentu presiden bener-bener jago kerja atau malah payah, tapi cuma soal apa yang dirasakan masyarakat saat itu.

Di era Jokowi, indeks persepsi korupsi Indonesia memang melorot. Tapi jangan buru-buru nuduh, “Wah, Jokowi pasti korupsi!” Belum tentu, karena sekali lagi, itu persepsi, bukan bukti.

Namun, persepsi ini bisa jadi sinyal buruk. Artinya, masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Kalau pemerintah nggak segera clear the air (menjelaskan atau memperbaiki), persepsi ini bisa makin liar dan dianggap fakta. Sama kayak gosip di warkop, “Eh, si A kayaknya pelit deh.” “Pejabat itu suke nak merampot,” kete budak Pontianak. Kalau nggak dibantah, lama-lama semua orang percaya.

Korup itu sifat, korupsi itu aksi. Kalau Jokowi dibilang korup oleh OCCRP, itu lebih ke persepsi masyarakat bahwa ada yang nggak beres di lingkaran kekuasaan beliau. Tapi, kalau nggak ada bukti kuat soal korupsi, ya tuduhan itu nggak bisa naik pangkat ke level hukum.

Biar fair, marilah kita semua bedakan antara “ada yang busuk” dan “udah ketahuan busuk”. Karena beda tipis, tapi efeknya luar biasa besar. Sambil ngopi, mari kita renungkan, “Busuk tempe aja bisa dimaafkan, kenapa manusia nggak bisa lebih jujur?”

Gimana? Cukup bikin senyum simpul nggak?

#camanewak


Like it? Share with your friends!