Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
KADANG kita sering nyinyir ke negeri jiran, Malaysia. Kali ini, kita menjadi malu pada tetangga kita. Semua gara-gara sang Kombes Donald.
Ladusing boleh mengocok perut. Tapi, polisi ini sudah mencurahkan kotoran ke wajah Indonesia.
Malam itu, JIExpo bergema. Lampu warna-warni membelah gelap, menciptakan pemandangan yang membuat waktu terasa berhenti. Jakarta sedang berpesta.
Djakarta Warehouse Project (DWP) menjadi altar modern, tempat ribuan anak muda menyerahkan diri pada irama, menari di bawah langit yang terasa lebih dekat. Tapi di balik hingar-bingar itu, sesuatu yang lebih kelam sedang terjadi.
Sosok itu, Kombes Donald Simanjuntak, berjalan di antara kerumunan. Seragamnya mungkin tak terlihat, tapi kekuasaannya terpatri jelas. Seorang perwira tinggi, seorang penjaga hukum. Nama yang pernah menggema di lingkaran elite kepolisian.
Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Sebuah gelar yang berat, tanggung jawab yang agung. Tapi malam itu, segala kehormatan itu luruh, tenggelam dalam dosa yang tak termaafkan.
Pemerasan. Kata itu menggantung di udara seperti asap rokok di ruang sempit. Warga negara Malaysia menjadi korban, menjadi saksi bisu dari skandal yang mencoreng seragam yang seharusnya melindungi, bukan menindas.
Matahari belum terbit saat sidang etik dimulai. Sebuah ruang kecil menjadi panggung, dan Kombes Donald adalah aktor utamanya. Waktu berjalan lambat, seperti menertawakan nasib yang tak lagi berpihak. Saksi demi saksi dihadirkan, bukti demi bukti ditumpuk, seperti batu bata yang menyusun dinding penjara imajiner di sekelilingnya.
Belasan saksi berbicara. Beberapa membawa beban berat yang memberatkan, yang lain mencoba meringankan dosa. Tapi kebenaran, seperti air, selalu menemukan jalannya. Tidak ada ruang untuk sembunyi. Tidak ada kata yang bisa menutupi.
Sidang berakhir di ambang fajar. Putusan itu datang seperti petir di langit subuh. Pemberhentian Dengan Tidak Hormat. Sebuah frasa yang dingin, tajam, dan tak bisa dibantah. Gelar itu, pangkat itu, semuanya dicabut, dilucuti, dihancurkan.
Kombes Donald Simanjuntak kini bukan siapa-siapa. Nama yang dulu disegani kini hanya menjadi catatan kecil di buku sejarah kepolisian. Sebuah nama yang akan dikenang dengan rasa malu, rasa marah, dan mungkin sedikit rasa iba.
Di luar, langit Jakarta mulai terang. Sisa-sisa pesta masih terasa. Tapi di antara semua itu, ada satu pelajaran yang tak akan pernah hilang: kekuasaan adalah pedang bermata dua. Dan pedang itu, jika tak dijaga, akan berbalik menghancurkan pemiliknya sendiri.
Dentuman bass DWP telah lama berhenti. Tapi gaung skandal ini akan terus terdengar, menghantui mereka yang pernah lupa pada arti kehormatan. Cukuplah Kombes ini saja!
#camanewak