FOTO : Ilustrasi [ AI]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan ]
Malam ini, Kota Pontianak terasa panas. Bukan karena ada kebakaran. Kejati Kalbar seperti mengganas setelah sebelumnya “diolok-olok.”
Dua orang ditahan dan ditetapkan tersangka dalam kasus Hibah Mujahidin. Mari kita lindas, eh salah, kupas kasus dugaan korupsi di penghujung tahun ini sambil seruput Koptagul, wak!
Tak ada angin, tak ada hujan, tak ada promo cuci gudang akhir tahun, tiba-tiba Kejati Kalbar berubah seperti transformer mode “Garang Unlimited Ultra Max”. Semua bermula setelah Dr Emilwan Ridwan SH MH diangkut masuk ke kursi Kajati Kalbar pada 23 Oktober 2025.
Ini sebuah tanggal yang kini diduga para pakar konspirasi sebagai “solar eclipse of justice”, ketika semesta memutuskan, “Sudahlah, ayo kita gas semua kasus mandek yang bikin masyarakat hampir jadi fosil.”
Benar saja. Kasus hibah Mujahidin yang dulu mandek sampai lumutan, yang sudah didemo warga sampai sepanduk para pendemo pun pudar kena matahari, jreng! langsung digas begitu saja. Banyak warga mengira Kejati dulu sempat “mode tidur hemat baterai”, tapi kini setelah ganti nakhoda, tiba-tiba seluruh kantor seperti disiram kopi robusta 2 liter.
Tanggal 17 November 2025, Kejati Kalbar resmi menetapkan dan menahan dua tersangka. IS (Ir. H. Ismuni), Ketua Lembaga Pembangunan Yayasan Mujahidin sekaligus Kapten Panitia Pembangunan yang entah kenapa lupa membangun sesuai RAB. MR (Ir. Mulyadi Rahyono), sang perencana, pembuat RAB, sekaligus pengawas yang… yaa… ternyata tidak terlalu mengawasi.
Keduanya disangka melanggar pasal segudang, mulai dari Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, sampai jo. jo. jo. Pasal 55. Ini seolah hidup mereka berubah menjadi playlist undang-undang paling dramatis di Spotify.
Rp 22.042.000.000. Itu total hibah dari Pemprov Kalbar untuk Yayasan Mujahidin 2020–2022. Menurut penyidik, sekitar Rp 5.971.702.088,87 hasil pekerjaan diduga “mengalami kekurangan volume dan mutu fisik” istilah halus dari “loh, bangunannya ada, kok kualitasnya begini?”
Dana hibah ternyata juga dipakai untuk membayar biaya perencanaan Rp 469 juta, serta insentif panitia Rp 198 juta. Dua hal yang tidak muncul dalam proposal maupun RAB. Bagai nonton serial TV, penonton berujar, “lho kok bisa?” sementara panitia menjawab seperti tokoh sinetron, “saya juga bingung, wak.”
Kejati pun resmi menahan IS dan MR di Rutan Kelas IIA Pontianak selama 20 hari. Entah mengapa rumor mulai berkembang, apakah ini efek November yang biasanya jadi bulan diskon besar-besaran? Atau memang aura Emilwan Ridwan berbeda?
Beberapa warga bahkan meyakini Dr. Emilwan membawa jimat anti-mandek. Ini semacam benda pusaka birokrasi yang membuat berkas perkara otomatis nge-gas begitu dipegang. Tidak ada bukti, tentu saja, tapi teori konspirasi tanpa bukti justru lebih nikmat.
Yang lebih bikin bulu kuduk merinding, Kejati memastikan penyidikan masih berkembang, dan “tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain.” Nah, di sinilah imajinasi masyarakat mulai lari bebas seperti kuda lepas di padang rumput.
Apalagi sudah tersilet info, ada tiga pejabat penting yang sudah diperiksa, yakni Sutarmidji, Syarif Kamaruzzan, dan Harisson. Mereka bertiga ini belum jadi tersangka, tapi rakyat sudah pasang stand Koptagul.
Begitulah, wak! Pontianak yang biasanya adem, kini bergetar seperti mau launching konser. Warga menatap Kejati dengan ekspresi campuran, harapan, penasaran, dan sedikit takut kalau besok paginya Kejati makin garang sampai gedung-gedung sekitar ikut berdiri sempurna.
“Bang, nampaknya esok, bakal ramai budak ngopi di Asiang.”
“Tanpa kasus ini pun, di Asiang tetap ramai, wak. Cuma lebih ramai lagi, apalagi di Jalan Hijaz, bakal kewalahan kang parkir.”
#camanewak
