FOTO : Dedy Irwan Virantama, S.H, M.H bersama istri tercinta, saat menyampaikan sambutan, pada momen pisah sambut di Kantor Kejari Sanggau, Senin, 21 Juli 2025 [ ist ]
Oleh : Muhammad Khusyairi/Sery Tayan [ Ketua Serikat Media Siber Indonesia/SMSI ] perwakilan Kalimantan Barat.
INI merupakan tulisan saya yang kedua, namun rasanya tetap tak cukup untuk menggambarkan apa arti kepergian seorang pemimpin yang telah menorehkan jejak begitu dalam di Kabupaten Sanggau.
Sebelum, melanjutkan tulisan ini, sebetulnya saya merasa tak “nyaman” karena tak datang pada malam pisah sambut yang berlangsung di area Mess Pemda.
“Mas tanggal 21 Juli malam hadir ya,” tulis Pak Kajari via chat WA-nya.
“Sy undang khusus, di pisah sambut pemda,” sambungnya.
Dan bukan hanya chat saja. Tiba-tiba ada nomor kontak baru mengirimkan undangan tersebut.
Hanya saja, karena saya masih luar kota, maka tak bisa menghadiri kegiatan tersebut.
Baiklah saya lanjutkan tulisan ini, sejatinya sosok Dedy Irwan Virantama, S.H., M.H, bukan hanya karena ia pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau.
Lebih dari itu, karena ia hadir sebagai sahabat hukum yang berpihak kepada keadilan rakyat kecil.
Pada Senin (21/7/2025) langit Kota Sanggau terasa lebih teduh dari biasanya. Seolah menyimpan pilu dalam awan, menyaksikan satu nama yang telah menjadi bagian penting dari denyut kerja Kejari Sanggau, kini harus mengemas tugas dan berpindah medan pengabdian.
Di halaman samping Kantor Kejaksaan Negeri Sanggau, barisan pegawai membentuk pagar kehormatan. Bukan semata tradisi seremonial, tapi simbol dari hati yang enggan melepaskan.
Mata beberapa orang berkaca-kaca. Senyum yang terlukis terasa getir. Ada kesedihan yang tak bisa diucap secara lantang, karena semua orang tahu, yang pergi bukan sekadar pemimpin.
Tapi seorang pembela keadilan yang mampu menyejukkan suasana dalam tekanan, dan mendamaikan dalam perbedaan.
Sosok Pak Dedy, tidak hadir dengan gebyar kekuasaan. Ia berdiri dan berjalan di tengah – tengah masyarakat, menapaki bumi yang sama, mendengarkan suara-suara kecil yang sering tak terdengar.
Di balik ketegasan seorang jaksa, ia menaruh kelembutan sebagai manusia. Dan justru karena itulah ia dicintai.
Di masa kepemimpinannya, kita melihat bagaimana hukum bisa dijalankan tanpa kehilangan hati.
Bagaimana aparat penegak hukum bisa hadir bukan hanya sebagai pengadil, tetapi juga sebagai pengayom.
Tak sedikit warga kecil yang mengaku pernah ditolong langsung olehnya bukan karena kepentingan, tapi karena rasa kemanusiaan.
Kini tongkat estafet itu telah berpindah.
Bapak Fauzy Marasabessy, S.H., M.H. hadir sebagai pemimpin baru. Disambut dengan hangat, penuh harapan, dan iringan semangat kolaboratif dari seluruh jajaran.
Dalam sambutan perdananya, beliau menekankan pentingnya kesinambungan, sinergi lintas sektor, serta layanan hukum yang cepat, transparan, dan berkeadilan.
Sebuah arah yang semoga mampu melanjutkan nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan oleh pendahulunya.
Namun tetap saja, di tengah semangat menyambut yang baru, ada duka diam yang tak terucap.
Saya percaya, kepemimpinan adalah soal warisan. Dan warisan Pak Dedy bukanlah sekadar kebijakan dan angka pencapaian.
Tapi warisan keteladanan, tentang bagaimana menjadi pemimpin yang melihat, mendengar, dan merasakan rakyatnya.
Dirinya membuktikan jabatan tidak harus menjauhkan dari rasa, dan hukum tidak harus kehilangan hati.
Mungkin kelak, di lorong-lorong kantor Kejaksaan Negeri Sanggau, di ruang rapat yang tenang, di antara tumpukan berkas perkara, akan tetap ada nama yang dibisikkan dengan penuh hormat dan rindu.
“Pak Dedy dulu pernah begini…”
Selamat bertugas di tempat yang baru, Pak Dedy. Jejakmu tertinggal bukan di meja kerja, tapi di hati banyak orang.
Terima kasih karena pernah memilih untuk tidak sekadar bekerja, tapi mengabdi. [ red ].