Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani
GIBRAN : “Enak banget ya Gus, jawabnya sambil baca catatan tadi”
Gus Imin: “Terimakasih… Saya catat sedikit yang penting ini bukan catatan Mahkamah Konstitusi…”
Gibran : “Saya mencari-cari jawaban Prof Mahfud, kok nggak ketemu.” Dengan gimmick cilingak-cilinguk tangan kanan ditaruh di kening seolah mencari sesuatu.
Mahfud: “Saya juga ingin mencari tu, jawabannya juga ngawur tu”
Sengaja saya kutip dua adegan debat itu, bagaimana Gibran menguji kesabaran Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD.
Dua adegan itulah yang sangat viral, paling ramai diperbincangkan di medsos pasca debat cawapres tadi malam.
Bukan substansi atau isi debat yang disorot, bukan program kerja, melainkan soal gimmick dan etika.
Saya ada menulis status di FB. “Sepertinya Gibran lebih smart dan hebat di debat kedua ini.” Ramai menanggapi, terutama pendukung 01 dan 03.
Ada juga bilang, pilihan saya sudah jelas arahnya. Maksudnya, arah dukungan saya ke 02 karena memuji Gibran.
Saya pernah menulis tentang logical fallacy terkait debat, yakni _ad hominem_ adalah sebuah kesalahan logika yang sering terjadi dalam dunia politik.
Terdapat empat jenis ad hominem, yaitu ad hominem abusive, ad hominem circumstantial, ad hominem tu quoque, dan ad hominem fallacy of relevance.
Keempat jenis ad hominem tersebut memiliki kesamaan dalam menyerang pribadi lawan bicara, bukan argumen yang sedang diperdebatkan. Tak perlu saya jelas lagi ya.
Gibran sepertinya mengamalkan seni debat ad hominem itu. Dia menyerang Gus Imin bawa contekan.
Ia menyerang Mahfud dengan istilah Greeenflantion. “Pak Mahfud kan profesor!”
Jangankan Menkopolkumham, saya pun tak bisa jawab seketika. Kecuali, nanya google. Bukan jawaban yang diinginkan putra sulung presiden itu, tapi momen gelagapan tak bisa jawab, itu yang diincar.
Untungnya Prof Mahfud tak gelagapan, justru menuding balik. “Jawabannya juga ngawur, receh.”
Apa isi debatnya? Tidak ada. Hanya ada kecerdasan dan kehebatan Gibran mengobok-obok emosi duo politisi senior itu. Gibran ingin keduanya “ditertawakan” publik secara massal.
Siapa guru debat Gibran di belakang itu, atau itulah sifat asli beliau sebenarnya. Hasilnya, nyata. Di trending topic, nama Gibran tertinggi, walaupun tertingginya sentimen negatif.
Kelakuan Gibran seolah-olah “merendahkan” kepakaran Gus Imin dan Prof Mahfud menjadi trending. Hal inilah yang diinginkan kubu 02, menguasai udara (maya).
Tak peduli mau sentimen negatif atau positif. Pastinya nama Gibran semakin berkibar jelang pencoblosan 14 Februari 2024. Di sinilah letak smart dan hebatnya Gibran.
Ia tahu, debat akan ramai dibicarakan saat lawan tak bisa menjawab, saat lawan tak berkutik, saat lawan gelagapan. Bukan materi debat, bukan gagasan, bukan juga program kerja. Tak ingat orang soal beginian.
Coba cek sampai saat ini, apa yang ramai dirumpikan orang, tak lari soal “bukan contekan mahkamah konstitusi, celingak-celinguk cari jawaban.”
Lantas bagaimana? Rata-rata sudah punya pilihan. Hatinya sudah mantap untuk memilih capres dan cawapres terbaik. Bagi yang sudah menentukan, tidak ada artinya debat. Apa pun yang diucapkan oleh kandidatnya semua benar.
Saya sering menyebut, sudah mirip nabi dan hampir sedikit lagi menjadi Tuhan. Lho mau jelek-jelekan 01 dengan isi kebun binatang, kegagalan DKI, kardus durian, tak guna. Tidak akan mengganti pilihan. Baginya 01 adalah pilihan terbaik.
Apa pun yang diucapkan, dilakukan semuanya benar, tidak ada kesalahan sedikit pun. Kalau ada salah, siap diluruskan atau istilah sekarang, siap dicebokin agar kembali kinclong.
Begitu juga pendukung 02. Lho mau katain udah tua bau tanah, pelanggar HAM, asam sulfat, mentang-mentang anak presiden, tak guna. Di mata pendukungnya, 02 adalah pilihan terbaik penerus program Jokowi. Tidak ada jelek, semua sempurna.
Begitu halnya pendukung gaspol 03. Lho mau katain penyuka bokep, wadas, malaikat bisa berubah iblis, tak guna. Bagi fans fanatiknya, Ganjar dan Mahfud sosok pemberani, akan menyikat koruptor. Semua sempurna, kalau pun ada dosanya, cepat dicebokin agar kembali bersinar dan harum.
Itu bagi pendukung yang sudah bulat memilih jagoannya. Akan berbeda bagi kaum undecided voters atau swing voters, kelompok yang sampai saat ini belum menentukan pilihan.
Kelompok inilah yang diklaim jadi penentu, bukan Genzy. Debat menjadi penting untuk mengetahui secara dalam seperti apa isi pikiran dan kelakuan masing-masing kandidat.
Tadi malam semua tergambar jelas seperti apa kualitas cawapres. Seperti apa penilaiannya, tentu setiap kepala akan berbeda memberikan penilaian. Saya tentu berbeda dengan ente.
Ingat, masih ada sekali debat, Debat Capres. Menghadirkan Anies, Prabowo, dan Ganjar. Kaum swing voters akan menunggu momen ini sekaligus memantapkan pilihan. Saya pun akan menunggu final debat ini.
Makin ke sini, sepertinya makin jelas kualitas masing-masing kandidat. Saya hanya ingat peribahasa, “Jangan sampai terperosok ke lubang untuk kedua kali.”
#camanewak