Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
DI SEBUAH kafe mewah di pinggiran Moskow, yang didekorasi dengan poster propaganda Rusia, dua pria duduk saling berhadapan.
Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak yang sudah terkenal sampai ke pelosok Nusantara, dan yang lainnya, mengenakan jas kebesaran dengan dasi yang sedikit miring, sedang sibuk memainkan rokok di tangannya.
Ini adalah pertemuan yang tidak disangka-sangka oleh dunia, Jaka Mulyono, mantan Presiden Nusantara, dan Basri Arsyad mantan Presiden Longsiah
“Jadi, kau sekarang pengungsi juga?” tanya Jaja sambil menyeruput kopi hitamnya.
Basri mengangkat bahu. “Apa boleh buat. Mereka bilang aku diktator. Padahal, kalau dilihat-lihat, aku ini cuma pelayan rakyat yang kebetulan memiliki kekuasaan absolut selama beberapa dekade. Salahku apa?”
Jaka tertawa kecil, mengaduk kopinya. “Aku juga begitu. Katanya aku korup. Padahal aku cuma bagi-bagi proyek ke temen-temen. Itu namanya berbagi rezeki, bukan? Tapi ya sudah, mereka kasih aku gelar runner-up pejabat paling korup di dunia. Lumayanlah.”
“Lumayan?” Basri mengernyit. “Kau harusnya malu, kawan. Nomor dua itu artinya kau gagal total. Aku di posisi pertama, tahu? Aku puncak klasemen! Ini soal prestise.”
“Prestise, katamu? Aku cuma main santai. Kalau aku serius, kau sudah lama tersingkir. Tapi aku kasih kau kesempatan menikmati piala korupsi itu.”
Basri meletakkan rokoknya. “Oh ya? Jadi menurutmu kau lebih layak di nomor satu?”
Jaka mengangguk sambil tersenyum tipis. “Jelas. Lihat saja. Aku bangun ibu kota baru, bikin proyek mangkrak di mana-mana, dan tetap bisa tersenyum sambil nge-vlog. Kau cuma perang-perangan. Kurang kreatif.”
Basri menyipitkan mata. “Tapi aku punya bom barrel. Kau punya apa?”
“Aku punya tukang kayu mentality.” Jaka menepuk dadanya bangga. “Aku bangun jembatan di tempat orang nggak butuh jembatan. Aku bangun jalan tol ke tempat yang nggak ada kendaraan. Itu seni, tahu? Pengelolaan uang publik tanpa arah yang jelas. Itu level master.”
Basri terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kau punya poin di situ. Tapi aku masih unggul soal mempertahankan kekuasaan dengan tangan besi.”
“Eh, jangan salah. Aku juga punya gaya lembut, tapi hasilnya sama. Lihat, aku dua periode. Bahkan ada yang mau aku tiga periode! Padahal aku cuma senyum-senyum doang.” Jaka mengangkat bahu. “Kau terlalu frontal. Harusnya kau belajar dari aku. Rakyat itu senang kalau dipeluk, bukan dihantam.”
Tiba-tiba seorang pelayan datang membawa tagihan. Basri dan Jaka saling pandang.
“Kau bayar, kan?” tanya Basri.
“Lho, kau yang bayar. Kau nomor satu pejabat korup, pasti lebih kaya,” balas Jaka.
Basri mendesah, lalu mengeluarkan kartu kredit. Pelayan memindai kartu itu, tapi mesin langsung berbunyi aneh. “Maaf, Tuan. Kartu ini ditolak.”
Basri berbisik, “Sanksi internasional. Semua rekeningku dibekukan.”
Jaka tertawa kecil. “Aku juga sudah nggak punya anggaran negara. Gimana kalau kita kabur saja?”
Tanpa pikir panjang, keduanya bangkit dan melesat keluar dari kafe seperti dua anak kecil yang kabur dari kantin sekolah. Pelayan hanya berdiri terpaku, memandangi pintu yang berayun pelan.
Di luar, mereka tertawa terbahak-bahak di bawah salju Moskow yang dingin. Dua mantan penguasa dunia, kini tanpa tahta, tanpa uang, tapi tetap hidup di tengah absurditas dunia.
“Basri,” kata Jaka sambil menepuk bahu temannya, “mungkin kita korup, tapi yang jelas, kita juga manusia.”
“Manusia yang sangat berbakat,” jawab Basri sambil menyulut rokok baru.
Malam itu, di bawah lampu jalan yang redup, dua mantan presiden berjalan menjauh, meninggalkan jejak absurd di salju, seperti kisah mereka yang tak akan pernah dimengerti oleh siapa pun.
#camanewak