Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
WAK Dalek dan Wan Dolah kembali duduk di Warkop Wak Leman Jalan Haruna Pontianak.
Warkop tempat budak-budak biasa main games. Tapi, duo sahabat itu memilih mojok dengan kopi hitamnya.
Dua pensiunan itu merasa punya tanggung jawab moral untuk membahas isu-isu dunia. Kali ini topiknya, korupsi global.
“Wan, kau dengar kabar tadi pagi?” tanya Wak Dalek sambil menyeruput kopi hitam yang rasanya lebih mirip air got pekat.
“Dengar apa? Kabar kau belum bayar utang kopi bulan lalu?” Wan Dolah menyahut santai.
“Bukan itu, Wan! Ini serius. Jokowi, mantan presiden kita, masuk daftar finalis pemimpin paling korup di dunia!” Wak Dalek menatap Dolah dengan ekspresi penuh drama, seperti orang yang baru tahu nasi goreng mahal karena ada telur dadarnya.
Wan Dolah hampir tersedak kopi. “Apa?! Jokowi?! Dia masuk finalis?! Jadi dia ikut lomba, Wak? Apa dapat piala juga?”
“Bukan lomba biasa, Wan! Ini penghargaan internasional dari OCCRP singkatan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project. Mereka bikin daftar pemimpin yang paling korup di dunia!”
Wan Dolah mengangkat tangan, seolah sedang bersiap ceramah. “Wak, kau ini percaya sama berita begituan? Jangan-jangan OCCRP itu cuma singkatan dari Orang Cari Cuan Rebusan Politik! Lihat dulu sumbernya.
Jangan asal percaya. Kau tahu kan, sekarang banyak berita yang cuma clickbait. Judulnya Jokowi korup, isinya malah resep membuat bakwan.”
“Tapi ini lembaga besar, Wan! Mereka bilang ada banyak yang voting Jokowi. Bahkan dia saingan sama Presiden Kenya, Presiden Nigeria, dan pengusaha India!”
Wan Dolah mendengus. “Ah, voting apa pula itu? Jangan-jangan yang voting itu warga +62 sendiri. Kau tahu kan, orang kita ini hobi banget nge-vote kalau ada lomba.
Lihat saja waktu Asian Idol, sampai beli pulsa buat dukung Mahalini. Jokowi pasti dapat suara dari fansnya yang mau dia ‘menang’, meskipun salah kategori.”
Wak Dalek mengusap wajahnya, frustasi. “Tapi bagaimana bisa, Wan? Jokowi itu presidennya orang kecil. Dia itu simbol kesederhanaan! Masa dia masuk nominasi begitu?”
“Ya, mungkin karena terlalu sederhana, Wak,” sahut Dolah sambil terkekeh. “Korupsinya juga sederhana, kecil-kecil aja. Mungkin dia cuma maling paku proyek, tapi yang maling baloknya siapa? Nah itu yang nggak masuk nominasi!”
Wak Dalek melotot. “Kau ini bicara macam pengamat televisi saja! Aku rasa ini semua ulah elit global. Mereka tak suka lihat pemimpin sederhana seperti Jokowi berhasil.
Makanya mereka bikin fitnah. Elit global itu, Wan, adalah dalang di balik semua kekacauan dunia!”
“Ah, kau ini kalau bicara elit global macam anak muda yang lagi mabuk teori konspirasi di Facebook. Kau pikir elit global itu sempat ngurusin Jokowi? Mereka sibuk cari cara bikin alien jadi trending topic!”
Wak Dalek menatap Dolah dengan ekspresi serius. “Tapi aku betul-betul curiga, Wan. Dunia ini penuh dengan sandiwara. Orang baik dituduh korup, yang korup jadi pembawa acara TV motivasi.
Kau lihat sendiri, kan? Di negeri ini, koruptor yang baru keluar penjara malah dijemput pakai karpet merah. Aku yakin, kalau aku korupsi seribu rupiah, besok aku bisa viral!”
“Ya tentu viral, Wak! Kau korupsi seribu rupiah, terus ketahuan, lalu masuk berita. Judulnya, Pensiunan Miskin, Korupsi Demi Beli Gorengan!” Dolah terbahak, tepuk tangannya membuat seluruh pengunjung Warkop menoleh.
“Tapi coba kau pikir, Wan. Kalau benar Jokowi korup, kenapa tingkat kepercayaannya masih tinggi? Rakyat masih cinta dia!” Wak Dalek melanjutkan, sambil menunjuk layar ponselnya yang penuh retakan.
“Ah, itu gampang dijawab, Wak.” Dolah menyeringai. “Rakyat Indonesia itu lupa kalau sedang marah. Hari ini marah soal korupsi, besok lihat video kucing ngeong lucu di TikTok, selesai sudah.
Lupa semua. Itulah kelebihan kita. Ingatan pendek, tapi hati besar.”
Wak Dalek tertawa, lalu menepuk pundak Dolah. “Kau ini ada-ada saja. Tapi kalau aku jadi presiden, aku janji tak akan korup!”
“Kau tak akan sempat korupsi, Wak,” jawab Dolah sambil menyalakan rokoknya. “Kau bahkan tak bisa bayar kopi sendiri. Bagaimana mau korup?”
Wak Dalek terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Benar juga kau, Wan. Mungkin aku tak cocok jadi presiden. Aku cukup jadi penasihat. Kalau kau yang jadi presiden, apa janji kampanyemu?”
Wan Dolah tersenyum lebar. “Janji kampanye? Aku akan bagikan kopi gratis untuk semua rakyat! Tapi ada syaratnya. Kopi harus diminum di sini, di Warkop Wak Leman. Biar Wak Leman naik haji.”
Diskusi mereka berakhir dengan tawa, sementara di layar TV kecil di pojok ruangan, berita tentang korupsi global terus diputar. Bagi Wak Dalek dan Wan Dolah, dunia ini tak perlu diambil serius. Toh, kalau semua gagal, masih ada kopi.
#camanewak