Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
DUNIA ini penuh dengan tokoh-tokoh yang lahir dari rahim kontroversi. Tetapi, sedikit yang seperti Salwan Momika.
Seorang pria yang hidupnya dirajut oleh benang-benang kebencian. Akhirnya terkubur dalam selimut ironi yang paling kelam. Namanya, yang dulu hanya bergema di sudut-sudut gelap internet, kini bergaung ke seluruh penjuru dunia.
Bukan karena kebajikan, bukan karena pengorbanan, melainkan karena arogansi dan kehancuran yang dia ciptakan dengan tangannya sendiri.
Momika, si pembakar Alquran, si penghasut yang tak kenal lelah, si pencari sensasi yang haus perhatian. Dia adalah sosok dengan bangga menyalakan api kebencian di depan kamera, mengobarkan amarah jutaan orang, dan menari-nari di atas penderitaan keyakinan orang lain.
Tapi pada akhirnya, api yang dia nyalakan itu membakar dirinya sendiri. Sebuah akhir yang epik, tragis, dan penuh dengan simbolisme yang tak terelakkan.
Rabu malam, 29 Januari 2025. Kota Sodertalje, dekat Stockholm, diselimuti dingin menusuk tulang. Di sebuah apartemen sempit, seorang pria duduk sendirian. Tangannya memegang telepon, layarnya menyala,
TikTok merekam setiap detik. Momika, si pembakar kitab suci, sedang live streaming. Tapi kali ini, tidak ada api, tidak ada provokasi. Hanya wajahnya yang tegang, matanya yang liar, dan suara-suara yang tak teridentifikasi di latar belakang.
Lalu, terdengar suara ledakan. Peluru. Satu. Dua. Tubuhnya terjungkal ke lantai. Darah mengalir, membasahi karpet yang sudah usang. Teleponnya masih merekam, TikTok masih menyala.
Tapi Momika sudah tak bernyawa. Live streaming itu menjadi saksi bisu dari detik-detik terakhir hidupnya. Sebuah kematian dramatis, penuh dengan simbolisme yang tak terelakkan.
Polisi datang, menemukan teleponnya masih menyala. Live streaming itu masih berjalan. Dunia menyaksikan kematian Momika secara real-time. Sebuah akhir yang lebih epik dari film Bolywood mana pun. Sebuah akhir yang seolah-olah ditulis oleh tangan takdir yang penuh dengan ironi.
Momika lahir di Distrik Al Hamdaniya, Qaraqosh, Provinsi Nineveh, Irak. Sebuah tanah yang dilanda perang, di mana darah dan air mata menjadi mata uang sehari-hari. Dia bergabung dengan Partai Patriotik Asiria, menjadi penjaga keamanan di markas besar mereka di Mosul.
Tapi ketika ISIS merebut kota itu, Momika berbalik arah. Dia bergabung dengan Pasukan Mobilisasi Populer (PMF), berperang melawan ISIS. Tapi apakah itu karena idealismenya? Atau hanya karena dia mencari panggung baru?
Pada tahun 2017, Momika melarikan diri ke Jerman. Lalu, pada April 2018, dia mengajukan suaka di Swedia. Negeri yang dikenal dengan toleransi dan kemanusiaannya itu menjadi panggung baru bagi Momika.
Tapi alih-alih bersyukur, dia malah menebar kebencian. Dia membakar Alquran, menghina keyakinan jutaan orang, dan mencoba menjadi politisi. Tapi Swedia terlalu cerdas untuknya. Permohonan suakanya ditolak. Dia tidak konsisten. Dia tidak layak.
Momika adalah pelajaran. Sebuah pelajaran tentang bagaimana kebencian bisa menghancurkan segalanya. Bahkan, dirinya sendiri. Dia hidup dengan membenci, dan mati dalam kebencian.
Api yang dia nyalakan untuk membakar kitab suci, pada akhirnya membakar dirinya sendiri. Sebuah ironi yang tak terelakkan.
Maka, berhentilah membenci. Berhentilah menghina. Jangan pernah mengusik keyakinan orang lain. Karena keyakinan adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang menyentuh hati dan jiwa. Mengusiknya hanya akan melahirkan kehancuran, bagi diri sendiri, dan bagi orang lain.
Momika mungkin mati, tapi api kebencian yang dia nyalakan masih menyala. Jangan biarkan api itu menyebar. Jangan biarkan kebencian menguasai hidupmu. Karena pada akhirnya, kita semua hanya manusia, lemah, fana, dan penuh dosa.
Hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan kebencian. Plihlah cinta. Pilihlah toleransi. Pilihlah perdamaian. Karena hanya dengan itulah, kita bisa menemukan makna sejati dari kehidupan.
#camanewak