FOTO : Dewi menunjukan magot hasil ternaknya (Ist)
Editor : Andika
POLEWALI Mandar – radarkalbar.com
TERTARIK dengan keberadaan sampah organik yang sulit teratasi dari waktu ke waktu, menggugah hati Dewi, (40) warga Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat untuk beternak magot atau belatung.
Apa yang dilakukan Dewi ini, kerap menuai aksi protes warga. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Dewi untuk melanjutkan usahanya, dengan harapan kelak dapat memberi manfaat untuk orang banyak.
“Begini Pak, karena saya lihat sampah di pasar banyak, kebetulan saya buruh menjual di pasar, saya kasihan lihat sampah banyak terbuang saja, jadi saya berfikir harus dikembangkan,” ungkap Dewi saat dijumpai wartawan, Rabu (22/6/22).
Menurut Dewi, beternak maggot telah\ digeluti sejak setahun terakhir. Ilmu beternak maggot diperoleh dari salah satu rekannya, saat merantau di Papua.
Pada bagian dalam bangunan, terdapat beberapa kotak terbuat dari semen dan dipenuhi sampah organik yang telah difermentasi. Sampah yang tampak seperti lumpur itu merupakan tempat berkembang maggot.
Setidaknya tiga kali dalam seminggu, Dewi mengumpulkan berkarung-karung sampah organik untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tidak jarang ada warga yang menganggapnya gila, karena mengumpulkan sampah yang harusnya diangkut ke tempat pembuangan akhir.
“Tapi saya cuek saja, makanya kalau ada yang bertanya sampah ini mau diapakan, saya jawab saja untuk pakan ternak,” ungkap ibu empat anak ini sambil tertawa.
Untuk mengurusi perternakan maggot miliknya, Dewi hanya dibantu salah satu anaknya yang beranjak remaja. Sang suami bernama Sam (45 tahun), sudah empat bulan lamanya mengadu nasib di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Proses budidaya maggot yang ditekuni Dewi sangat sederhana. Maggot dewasa nantinya akan berubah menjadi lalat hitam. Lalat tersebut kemudian dimasukkan ke tempat khusus mirip kandang yang terbuat dari kelambu. Lalat hitam inilah nantinya yang akan bertelur menjadi larva maggot.
Meski tampak sederhana, pengawasan termasuk pengecekan kandang harus rutin dilakukan, mengantisipasi serangan predeator, khususnya ayam dan tikus.
Bahkan menurut Dewi, tantangan terbesar salama beternak maggot berasal dari warga, yang tidak jarang melayangkan protes karena merasa terganggu.
“Saya pernah disuruh sudahi (beternak maggot), karena dianggap mengggangu, bau. Tapi setiap saya ditegur, saya selalu berusaha untuk memperbaiki, agar mengurangi dampak yang ditimbulkan,” imbuhnya lirih.
Diakui Dewi, peternakan maggot miliknya panen setiap lima belas hari sekali. Meski hasil panennya sudah ditawar banyak warga untuk bahan pembuatan pakan terutama ikan.