Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalbar]
SEBELUM membaca lebih lanjut, siapkan tisu dulu, wak! Inilah sepenggal kisah dari seorang wisudawan di acara Wisuda Sarjana IV UNU Kalbar, 28 September 2024 di Qubu Resort.
Inilah kisah Dandi. Ketika ia melangkah maju ke podium dengan jubah wisuda tersemat rapi, senyum tipis menghiasi wajahnya. Siapa yang menyangka di balik senyum itu, tersembunyi lautan air mata dan perjuangan tanpa henti?.
Mahasiswa dari Kayong Utara itu berdiri tegak, menyampaikan sepenggal kisah yang tak hanya membuat hadirin terdiam, tetapi juga menggetarkan hati dan meneteskan air mata.
Di hadapan ratusan mata, Dandi, mahasiswa Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, dengan penuh ketenangan bercerita tentang perjalanan hidupnya.
Ia bukanlah sekadar lulusan dengan IPK 3,86, bukan hanya mahasiswa terbaik yang menyelesaikan studi dalam 3,5 tahun. Di balik semua gelar dan predikat itu, ada seorang anak yang belajar tentang arti pengorbanan, cinta, dan tekad dari sang ibu yang tak kenal lelah.
Ketika sang ayah, seorang nelayan tangguh, tiba-tiba jatuh sakit dan harus menjalani operasi, seluruh dunia Dandi berubah.
Sang ayah, yang biasanya menjadi tiang penopang keluarga, kini hanya bisa terbaring di kamar, menatap langit-langit yang mungkin terasa semakin rendah.
Dandi tahu bahwa saat itu, bukan hanya tubuh ayahnya yang sakit, tapi juga hatinya, karena tak lagi mampu menafkahi keluarga.
Ibu Dandi, tanpa ragu, mengambil alih peran sebagai kepala keluarga. Setiap pagi, dengan langkah pasti, ia berangkat bekerja sebagai buruh di perusahaan sawit, menanggung beban hidup yang seharusnya bisa dibagi berdua.
Bahkan ketika malam mulai menyelimuti bumi, ibunya masih berada di ladang, menyelesaikan pekerjaan dengan tangan yang sudah mulai lelah.
Suatu malam, Dandi mencoba menghubungi ibunya. Hatinya gundah, ingin mendengar suara sang ibu sebagai pengobat rindu. Namun, tak ada jawaban.
Waktu terus berjalan, dan malam semakin larut. Akhirnya, panggilannya terhubung.
“Ibu baru pulang?” tanya Dandi dengan suara bergetar.
“Iya, Nak. Baru sampai rumah,” jawab ibunya dengan nada lelah yang tak bisa disembunyikan.
Ketika Dandi bertanya mengapa begitu lama, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ibunya menceritakan bagaimana ia harus berjalan kaki sendirian, karena tak ada jemputan.
Langkahnya melewati jalanan gelap, diterangi hanya oleh bulan yang kadang tertutup awan. Namun, Tuhan masih menyayangi, seseorang berhati baik memberinya tumpangan hingga akhirnya ia tiba di rumah.
Mendengar itu, Dandi tak mampu lagi menahan tangis. Suara ibunya yang lelah, namun tetap penuh kasih, membuat hatinya remuk.
Di tengah kesibukan kuliah, di sela-sela tugas dan ujian, Dandi terus memutar percakapan itu dalam benaknya, seolah menjadi bahan bakar yang menggerakkan langkahnya.
Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa segala pengorbanan ibunya tak akan pernah sia-sia.
Kini, di podium itu, dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca, Dandi menyampaikan rasa syukurnya.
“Saya mungkin berdiri di sini dengan segudang prestasi, tapi saya tahu, ini semua karena doa ibu dan ayah,” ucapnya.
“Ketika orang lain bertanya bagaimana saya bisa bertahan, saya hanya mengingat malam itu, ketika ibu pulang berjalan kaki dengan kelelahan. Saya belajar dari beliau, bahwa tak ada perjuangan yang sia-sia.”
Hadirin tak lagi mampu menahan emosi. Isak tangis terdengar dari berbagai sudut ruangan. Bahkan seorang Wakil Rektor pun menyerahkan tisu kepada Dandi, yang dengan air mata berderai mengusap pipinya.
Dandi tak hanya menyelesaikan kuliah dengan gelar dan IPK tinggi, tapi ia juga lulus dalam ujian kehidupan. Sebuah ujian yang mengajarkan tentang kasih sayang, pengorbanan, dan cinta yang tak terukur oleh angka.
Dan hari itu, di hadapan seluruh hadirin, ia bukan hanya menjadi mahasiswa terbaik, tetapi juga anak yang sukses membuktikan bahwa di balik setiap kesuksesan, ada doa seorang ibu yang tak pernah lelah.
#camanewak