Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]
SORE INI, sejarah ditulis ulang. Tidak dengan pena emas atau tinta abadi, tapi dengan suara-suara kecil yang dikumpulkan dari bilik sempit bernama TPS.
Siapa yang akan memimpin hidup kita? Siapa yang berhak menentukan harga cabai, jalan berlubang, hingga siapa yang akan tersenyum di baliho selama lima tahun ke depan? Jawabannya segera diketahui sore nanti.
Sambil bersiap menuju TPS, yok kita bahas pesta demokrasi di negeri ini. Habis nyoblos, jalan-jalan dan mencari sampedas kepala ikan kakap, sedap nian. Baik kita mulai wak!
Pemenang Pilkada serentak akan diumumkan. Ya, pemenang (versi quick count). Karena dalam kompetisi ini, kalah bukanlah pilihan. Tapi, mari jujur. Dalam permainan demokrasi kita, menang dan kalah selalu punya cerita.
Ada yang menang dengan hati lapang, ada yang menang dengan cara licik. Ada yang kalah dengan kepala tegak, tapi banyak yang kalah sambil meratap di media sosial, menyalahkan semua kecuali dirinya sendiri.
Demokrasi itu sakral, katanya. Tapi di sini, kadang terasa seperti dagelan. Ada cerita tentang amplop yang berpindah tangan, tentang janji yang dijual murah.
Ada juga isu curang yang jadi nyanyian wajib mereka yang kalah. Demokrasi, pada akhirnya, bukan soal siapa yang benar, tapi siapa yang bertahan dengan suaranya paling nyaring.
Tapi jangan salah, bagi rakyat kecil, Pilkada bukan sekadar pesta. Ini adalah harapan yang dijual mahal. Di balik suara mereka, tersimpan doa-doa.
Untuk harga sembako yang terjangkau, untuk anak yang bisa sekolah, untuk hidup yang sedikit lebih layak. Jika pemimpin lupa akan itu, maka demokrasi hanya akan menjadi sandiwara, di mana rakyat kecil selalu menjadi figuran.
Kalah dalam Pilkada itu berat. Apalagi jika miliaran telah dihabiskan untuk baliho, kaos, dan janji palsu. Tapi, bagi mereka yang kalah, hukum masih menyediakan jalan. Mahkamah Konstitusi.
Sayangnya, perjalanan ke sana ibarat mendaki gunung dengan mata tertutup. Berat, sulit, dan hampir mustahil. Maka, bagi yang kalah, ada satu pelajaran penting, belajar ikhlas itu perlu, apalagi di negeri ini.
Namun, yang menang jangan terlalu bersorak. Jangan lupa, rakyat memilih bukan untuk memberi kekuasaan, tapi untuk memberi amanah. Menang bukan tiket untuk jumawa, apalagi lupa diri.
Pemimpin yang bijak adalah yang merunduk, bukan yang melambung. Seperti padi yang semakin berisi, semakin rendah hati. Bukan seperti kaktus berdiri tegak tapi menusuk sana-sini.
Mari kita rayakan demokrasi, tapi dengan akal sehat. Jangan ada gedung yang dibakar, jalan yang disulut emosi, atau rakyat kecil yang menjadi korban ambisi. Demokrasi bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi soal bagaimana kita tetap satu meski berbeda.
Sore ini, kita saksikan babak akhir dari drama Pilkada. Tapi ingat, drama sebenarnya baru dimulai. Lima tahun ke depan, pemimpin yang terpilih harus membuktikan bahwa demokrasi kita bukan sekadar ajang balapan, tapi ruang untuk harapan. Rakyat telah memberi suara mereka, kini giliran pemimpin untuk memberi kehidupan.
Demokrasi, dalam segala keributannya, tetap menjadi pilihan terbaik. Karena tanpa itu, suara kita hanya akan menjadi bisikan yang tenggelam dalam hiruk-pikuk kekuasaan.
Mari kita jaga demokrasi ini, bukan karena sempurna, tapi karena ia adalah satu-satunya harapan untuk masa depan yang lebih baik.
#camanewak