Radar KalbarRadar Kalbar
  • Home
  • Indeks
  • Kalbar
  • Nasional
  • Peristiwa
  • Politik
  • Ragam
  • Lainnya
    • Hukum
    • Olah Raga
    • Gaya Hidup
    • Bisnis
    • Figur
    • Tekno
    • Entertainment
Radar KalbarRadar Kalbar
  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang
Pencarian
  • Home
  • Indeks
  • Kalbar
  • Nasional
  • Peristiwa
  • Politik
  • Ragam
  • Hukum
  • Olah Raga
  • Gaya Hidup
  • Bisnis
  • Figur
  • Tekno
  • Entertainment
Radar Kalbar > Indeks > Opini > Cerpen “Pelukan di Pekarangan Rumah”
Opini

Cerpen “Pelukan di Pekarangan Rumah”

Last updated: 26/11/2024 21:43
26/11/2024
Opini
Share

Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupenas Kalimantan Barat]

SUPRIYANI berdiri di depan pagar rumah kayu yang telah dimakan usia. Matanya sembab, sisa tangis belum kering di pipinya.

Hembusan angin sore Desa Wonua Raya membawa aroma tanah basah. Di kejauhan, suara ayam berkotek memecah hening.

“Supriyani pulang! Supriyani bebas!” teriak seorang ibu tua, suaranya bergetar oleh isak.

Dalam sekejap, pekarangan itu penuh sesak. Warga berdatangan.

“Ibu, alhamdulillah, kamu pulang, Nak…” seorang perempuan tua dengan rambut memutih berjalan tertatih menghampiri Supriyani. Itu ibunya.

“Bu…” Supriyani memeluk ibunya erat. Napasnya tersendat-sendat menahan tangis. “Maafkan saya, Bu. Sudah bikin semua repot…”

“Tidak, Nak… tidak. Allah sudah tunjukkan yang benar. Kamu sudah bersih. Kamu kuat,” ucap ibunya, suaranya lirih namun penuh keteguhan.

Seorang tetangga tiba-tiba mendekat. Tangan kasarnya menggenggam tangan Supriyani. “Kami percaya sama kamu dari awal, Ri. Kamu nggak mungkin sejahat itu. Anak-anak kamu aja disayang semua!”

“Benar, Ri,” sambung tetangga lain. “Tuduhan itu nggak masuk akal. Kamu guru terbaik di sini.”

Supriyani hanya mengangguk. Air mata terus membasahi wajahnya. “Terima kasih… semua,” ucapnya hampir tak terdengar.

Para guru PGRI mulai berdatangan. Seragam batik mereka terlihat kontras di antara warna hijau pepohonan. Salah satu dari mereka, Bu Ani, langsung memeluk Supriyani.

“Kamu hebat, Ri. Ini Hari Guru Nasional. Kado terbesar untuk kita semua, tahu nggak?” katanya sambil mengelus punggung Supriyani.

“Bu Ani…” Supriyani tak kuasa berkata-kata lagi. Tubuhnya gemetar di pelukan itu.

“Tahu nggak, Ri,” seorang guru lain, Pak Joko, mencoba mencairkan suasana. “Kita ini sampai mau gelar demo besar-besaran di kantor polisi kalau kamu nggak bebas hari ini!”

Beberapa guru tertawa kecil, tapi tawa itu cepat berubah menjadi isakan.

“Maafkan aku…” Supriyani mengulang, kali ini lebih keras. “Maafkan aku. Aku nggak kuat lagi kalau harus melawan tuduhan itu sendirian.”

“Dan kamu nggak pernah sendirian, Supriyani!” tegas Andri, pengacaranya, yang tiba-tiba muncul di antara kerumunan. “Kami semua ada untukmu. Sejak awal.”

Warga kembali bertepuk tangan. Pekarangan yang penuh sesak itu menjadi saksi solidaritas mereka.

Supriyani menoleh ke arah Andri. “Terima kasih. Kalau bukan karena tim kalian, aku… mungkin aku sudah menyerah.”

“Jangan bicara begitu,” jawab Andri, menepuk bahunya. “Kamu adalah simbol perjuangan. Simbol bahwa kebenaran masih ada di negeri ini.”

Mata Supriyani kembali memerah. Dia menyeka air mata dengan ujung jilbabnya. Di depan rumah, anak-anak yang pernah diajarinya berkumpul, memegang kertas bertuliskan: *“Kami sayang Bu Guru Supriyani!”*

“Bu Guru, kita rindu diajar lagi,” kata salah satu dari mereka, suaranya polos namun menusuk hati.

Supriyani mendekati mereka. “Bu Guru juga rindu… sangat rindu,” jawabnya, lalu memeluk bocah-bocah itu satu per satu.

Langit mulai berubah jingga. Matahari perlahan tenggelam, seolah turut memberi penghormatan pada guru yang akhirnya menemukan kebebasannya.

Namun di tengah kebahagiaan itu, Supriyani menatap jauh ke cakrawala. Di balik senyumnya, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. “Hari ini adalah akhir dari cobaan ini,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tapi juga awal dari perjuangan yang baru.”

Sore itu, di pekarangan rumah tua itu, harapan kembali tumbuh bersama pelukan-pelukan hangat dan air mata yang tak berhenti mengalir.

#camanewak

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
TAGGED:Desa Wonua RayaSupriyani
Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp Telegram Copy Link

Terpopuler Bulan Ini

Selamat dari Tabrakan, Truk CPO Justru Masuk Parit, Kerugian Capai Puluhan Juta

07/08/2025
Alumni Tuntut Saiful Anam dan Awam Sanjaya Bertanggung Jawab atas Mati Suri Darul Ma’arif Sintang
10/08/2025
Tangis Bocah Pecah di Jembatan Kuala Mempawah, Tali Layangan Lukai Wajahnya Saat Menuju Tempat Hiburan
04/08/2025
Tampil Solid dan Kompak, Tim SKL Kunci Gelar Juara Voli Antar Desa Zona I se Kabupaten Mempawah
05/08/2025
Poros Muda NU Desak Copot Ketua LP Ma’arif Sintang, Mundur Itu Terhormat, Sebelum Semuanya Terlambat
08/08/2025

Berita Menarik Lainnya

Republik Joget di Atas Perut Lapar

17 jam lalu

Terinspirasi Noel, Wartawan Ini Peras Pengusaha Sawmill

27/08/2025

Noel Terlihat Sedih Memakai Rompi Oranye

22/08/2025

Efisiensi ala DPR, Rakyat Dipajaki, Dewan Diberi Kompensasi

19/08/2025

PT. DIMAS GENTA MEDIA
Kompleks Keraton Surya Negara, Jalan Pangeran Mas, No :1, Kel Ilir Kota, Sanggau, Kalbar

0812-5012-1216

Terkait

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi

Regional

  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang
  • Kapuas Hulu
  • Kayong Utara
  • Ketapang
  • Kubu Raya
  • Landak
  • Melawi
  • Mempawah
  • Pontianak
  • Sambas
  • Sanggau
  • Sekadau
  • Singkawang
  • Sintang