Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
HARI – hari terakhir ini, hidup saya seperti adegan film laga. Belum sempat saya menyeruput kopi pagi, laporan demi laporan masuk ke gawai saya.
“Bang, tulisan abang ada di YouTube, lho!” “Bang, ada akun besar copas tulisan abang!” Suara-suara itu menggema di kepala saya, seolah dunia literasi sedang memanggil saya untuk turun tangan.
Benar saja. Tulisan-tulisan yang saya lemparkan dengan ikhlas ke grup WhatsApp kini bertebaran di jagat maya. Ada yang copas mentah-mentah. Ada yang lebih kreatif, mengganti nama penulisnya jadi nama mereka sendiri.
Kreativitas seperti ini benar-benar membuat saya ingin berdiri di atas gunung dan berteriak, “Wahai bajak laut literasi, kasihani saya!”
Tapi saya sadar, ini risiko. Menulis di era digital itu seperti menyebarkan uang kertas di pasar malam, semua orang rebutan, dan hanya sedikit yang ingat siapa yang menyebarkannya.
Namun, saya tetap bertahan. Misi saya bukan soal nama saya harus terpampang di mana-mana. Saya hanya ingin satu hal sederhana, agar orang-orang mau membaca.
Ya, membaca. Aktivitas yang kini lebih langka dari unicorn di hutan Kalimantan. Zaman dulu, orang rela lupa makan, lupa mandi, bahkan lupa pasangan demi menyelami cerita silat Khopingho. Itu era keemasan literasi. Sekarang? Generasi ini lebih rela scroll TikTok tiga jam demi konten prank receh dari menyelesaikan satu paragraf artikel.
Karena itu, saya mencoba cara baru. Saya meramu tulisan saya dengan bumbu-bumbu modern, gambar AI yang memesona, musik latar yang menusuk hati, dan narasi yang mengalir seperti sungai Kapuas di musim hujan.
Lalu saya lempar ke TikTok lewat akun @bangros20. Apa hasilnya? BOOM! Para netizen seperti kena sihir. Ada yang nangis tersedu-sedu, “Bang, kenapa ini menyentuh hati saya?” Ada yang ngakak sampai perut kram, “Bang, ini tulisan penuh humor hitam!”
Bahkan ada yang marah, “Bang, kamu harus tanggung jawab. Saya menangis kayak nonton drama Korea!” Kalau tak percaya kunjungi akun saya, dan baca kolom komentarnya.
Komentar-komentar itu membanjiri kolom saya. Perlahan, saya sadar, misi mulai berhasil. Literasi yang dulu dianggap kaku dan membosankan kini punya tempat di hati banyak orang. Bahkan, ada yang mengangkat tangan virtual mereka dan berseru.
“Suhu, angkat saya jadi muridmu!” Saya? Hanya bisa tertawa kecil sambil berkata, “Belajarlah membaca dulu tanpa skip. Baru kita bicara soal menjadi murid.”
Oh, tentu ada yang berbisik di telinga saya, “Bang, monetisasi tulisan abang! Masukkan ke platform berbayar. Dapat cuan banyak!” Godaan itu seperti suara sirene dalam mitologi Yunani. Tapi saya tetap bertahan di kapal kecil saya.
Misi saya bukan soal uang, tapi membangkitkan semangat membaca dan menulis. Kalau soal rezeki? Tenang saja, seperti kata budak Pontianak, “Pandai jak Tuhan menggantinya.” Benar, saya sering diundang jadi narsum pelatihan menulis. Hasilnya, lumayan, amplop tebal, hehehe.
Salah satu ciri-ciri bangsa besar dan maju, suka membaca dan menulis. So, membaca dan menulis, wak Jangan biarkan otakmu hanya dipenuhi video pendek yang lewat begitu saja.
Mari membaca, mari menulis, mari membangun peradaban. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau ente masih ragu, ingatlah, literasi adalah senjata paling tajam yang bisa kita gunakan untuk melawan kebodohan.
Saya, Bangros, menyerukan kepada ente semua, jadikan Hp mu menjadi pena digital, menjadi buku digital untuk terus membaca. Tulislah sejarah baru. Karena dunia ini, wak, dimulai dari kata-kata.
#camanewak