FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SAYA tidak tahu apakah KPK sedang ngegosip atau menghadirkan fakta baru. Lembaga antirasuah bilang, Ridwan Kamil mungkin punya lebih dari satu wanita dalam pusaran korupsi proyek iklan BJP.
Mari kita ngegosip, ups salah, gosok soal ini sambil seruput Koptagul, wak!
Kalimatnya pendek, tapi bunyinya menggema lama. “Ada lebih dari satu wanita.” Bukan tuduhan, bukan pengakuan, bahkan bukan kesimpulan. Hanya kemungkinan. Namun justru di situlah kekuatannya.
Dalam filsafat bahasa, satu kalimat yang ambigu lebih berbahaya dari seribu halaman dakwaan. Ia mengundang tafsir, memancing imajinasi, dan memaksa publik menjadi penyelidik paruh waktu tanpa surat tugas.
Ungkapan itu lahir dari mulut KPK, lembaga yang setiap katanya diasumsikan mengandung peta rahasia. Ketika Juru Bicara KPK menyebut “mungkin ada” lebih dari satu wanita dalam pusaran dugaan korupsi proyek pengadaan iklan Bank BJB periode 2021–2023.
Publik tidak mendengar kata “mungkin”. Yang terdengar hanya “lebih dari satu wanita”. Sisanya dihapus oleh rasa ingin tahu yang rakus. Dalam logika investigatif, ini adalah petunjuk samar. Dalam logika publik, ini trailer berdurasi tiga detik yang cukup untuk membangun satu semesta teori.
Secara filosofis, “lebih dari satu” menandakan pluralitas. Pluralitas selalu identik dengan jaringan. Bagi penyidik, jaringan berarti aliran uang, simpul kepentingan, dan relasi kuasa. Bagi publik, jaringan berarti cerita bercabang, tokoh tambahan, dan kemungkinan twist.
Padahal KPK bicara soal dugaan aliran dana, bukan romansa. Namun bahasa tidak pernah netral. Begitu kata “wanita” digunakan, ia membawa beban sejarah, moral, dan sensasi. Seolah-olah uang tidak bisa mengalir tanpa disertai drama kemanusiaan.
Kasusnya sendiri kering dan matematis. Lima tersangka telah ditetapkan sejak 13 Maret 2025. Mulai Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi, PPK sekaligus Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Widi Hartoto, serta tiga pengendali agensi periklanan, yakni Ikin Asikin Dulmanan, Suhendrik, dan Sophan Jaya Kusuma.
Kerugian negara diperkirakan sekitar Rp222 miliar. Angka ini dingin, tidak menggoda, dan sulit viral. Maka ketika muncul frasa “lebih dari satu wanita”, ia menjadi jembatan emosional agar publik mau menoleh ke berkas yang tebal dan melelahkan.
Dalam kacamata investigatif, ungkapan itu bisa dibaca sebagai sinyal kehati-hatian. KPK tidak menutup kemungkinan adanya pihak lain yang menerima aliran dana, siapa pun dia, apa pun latar belakangnya.
Karena itu pula KPK menegaskan, pemanggilan terhadap siapa saja tetap terbuka, termasuk figur publik seperti Aura Kasih. Wait…wait..siapa? Aura Kasih. Rasanya kenal ni cewek.
Waduh, KPK nyebut Aura Kasih, dan tentu jika dianggap mengetahui atau diduga terkait. Ini bukan tuduhan, melainkan prinsip dasar penyidikan. Follow the money, bukan follow the gossip. Tapi publik jarang sabar mengikuti uang, mereka lebih suka mengikuti bisik-bisik.
Menariknya, frasa ini muncul di tengah gugatan cerai Ridwan Kamil dengan Atalia, alias Bunda Cinta. Waktu yang terlalu sinkron untuk dianggap kebetulan oleh publik yang gemar merangkai pola. Maka lahirlah pembacaan konspiratif.
Apakah ini kebetulan kosmis, pengalihan isu, atau sekadar tabrakan kalender yang kejam? Padahal secara hukum, Ridwan Kamil telah diperiksa sebagai saksi pada 2 Desember 2025, rumahnya digeledah pada 10 Maret 2025, dan sejumlah barang disita. Semua tercatat, semua prosedural, tanpa bumbu metafisika.
Namun bahasa bekerja di luar hukum. “Ada lebih dari satu wanita” kini hidup sebagai simbol ketidakpastian. Ia menandai, kasus ini belum selesai. Masih ada lorong gelap belum diterangi. Kebenaran tidak pernah datang sekaligus.
Dalam filsafat penyelidikan, kebenaran memang tidak berlari. Ia berjalan pelan sambil menyeret data. Publik, sayangnya, sudah berlari lebih dulu, meninggalkan data di belakang, sambil berharap di tikungan berikutnya ada kejutan.
#camanewak
#jurnalismeyangmenyapa
#JYM
