Oleh : Dr. Herman Hofi Munawar [ Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik ]
FENOMENA antrean Bahan Bakar Minyak (BBM) yang hampir terjadi di setiap SPBU di Kalimantan Barat tidak dapat lagi dipahami sebagai persoalan teknis distribusi semata.
Kondisi ini merupakan indikasi kuat kegagalan kebijakan (policy failure) yang bersifat sistemik, diperparah oleh lemahnya penegakan hukum serta minimnya keberanian institusi negara untuk bertindak tegas.
Dari perspektif kebijakan publik, antrean panjang yang berlangsung menahun mencerminkan kegagalan pemerintah daerah bersama BPH Migas dalam menyinkronkan data pertumbuhan kendaraan khususnya kendaraan berat dengan penetapan kuota BBM bersubsidi.
Jika antrean terus berulang dari tahun ke tahun, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen perencanaan kuota tidak pernah benar-benar disusun berdasarkan kebutuhan riil di lapangan, melainkan bersifat administratif dan tidak adaptif.
Penerapan sistem QR Code yang diklaim sebagai solusi pencegah penyalahgunaan BBM bersubsidi pada kenyataannya tidak menunjukkan efektivitas yang signifikan. Antrean tetap panjang dan distribusi tetap timpang.
Kondisi ini hanya dapat dimaknai dalam dua kemungkinan serius: sistem yang memang mudah diakali, atau pembiaran yang disengaja, termasuk potensi penyalahgunaan identitas digital di tingkat operator SPBU.
Sikap Pertamina dan Hiswana Migas yang cenderung normatif, datar, dan seolah tanpa urgensi memperlihatkan tidak adanya sense of crisis.
Dalam teori kebijakan publik, situasi semacam ini kerap dijelaskan melalui Capture Theory, yaitu kondisi ketika lembaga regulator atau pengawas justru menjadi terlalu dekat bahkan dikendalikan oleh kepentingan pihak yang seharusnya mereka awasi.
Pelanggaran Hukum Terbuka di Ruang Publik
Secara normatif, pendistribusian BBM bersubsidi telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
Pasal 55 secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi dapat dipidana penjara paling lama enam tahun dan denda hingga Rp60 miliar.
Ketika antrean truk terjadi hampir sepanjang tahun, bahkan disertai dugaan penggunaan tangki modifikasi, maka patut diduga kuat telah terjadi penyimpangan distribusi dan lemahnya pengawasan.
Lebih serius lagi, pelanggaran ini tidak berlangsung secara tersembunyi, melainkan terjadi secara terbuka di ruang publik, di hadapan aparat dan masyarakat.
Pertamina memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk memastikan BBM bersubsidi benar-benar sampai kepada pihak yang berhak. Pembiaran terhadap SPBU yang melayani praktik antrean ilegal dan pelangsiran dapat dikualifikasikan sebagai kelalaian pengawasan internal, yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
Apabila instansi teknis terkait baik Dinas ESDM maupun Dinas Perhubungan tidak mengambil langkah-langkah luar biasa, maka tindakan tersebut dapat dinilai sebagai maladministrasi, karena abai terhadap kewajiban pelayanan publik yang berdampak luas terhadap ekonomi masyarakat.
Hukum tidak hanya bertujuan menciptakan kepastian, tetapi juga kemanfaatan dan keadilan. Ketika sopir truk logistik harus mengantre 12 hingga 24 jam, maka secara nyata telah terjadi pelanggaran hak ekonomi: waktu kerja produktif hilang, biaya operasional meningkat, dan tekanan ekonomi sepenuhnya ditanggung oleh kelompok pekerja.
Lebih jauh, antrean BBM telah memicu high-cost economy di Kalimantan Barat. Kenaikan biaya logistik secara langsung berdampak pada melonjaknya harga kebutuhan pokok, yang pada akhirnya dibebankan kepada rakyat kecil sebagai konsumen akhir. Ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang dibiarkan berlangsung.
Masalah ini tidak akan pernah selesai dengan sekadar himbauan atau sidak seremonial. Diperlukan langkah konkret, tegas, dan bersifat radikal, antara lain:
Polda Kalbar harus membentuk Satuan Tugas Khusus permanen di SPBU “titik merah”.
